Tuesday 27 March 2018

Gamelan Sari Oneng Parakansalak


Kunjungan saya ke Museum Prabu Geusan Ulun awal Maret 2018 yang lalu menambah ilmu pengetahuan yang saya miliki mengenai Gamelan Sari Oneng Parakansalak yang tersimpan di Gedung Gamelan Museum Prabu Geusan Ulun. Gamelan itu seperangkat alat musik yang biasanya terdiri dari Saron Pangbarep, Saron Panempas, Demung, Peking, Gambang, Jenglong, Bonang, Kendang, Goong, Kecrek dll

Informasi dari Bapak Abdul Syukur selaku Tour Guide Museum bahwa di Museum Prabu Geusan Ulun ada dua Gamelan, yaitu: Gamelan Sari Oneng Mataram adalah gamelan yang dibuat di Kerajaan Mataram sebagai hadiah kepada Kerajaan Sumedang Larang yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Kemudian Gamelan Sari Oneng Parakansalak, menurut data dari administratur Adriaan Wallrafenholle perkebunan teh Parakansalak Sukabumi, Gamelan Sari Oneng Parakansalak dibuat di Sumedang Tahun 1825, saat itu Sumedang merupakan pusat budaya di Jawa Barat. Sedangkan rancak (rangka) gamelan milik dibuat dari kayu besi di Muangthai (Thailand) dengan warna biru dan hijau. Kepala harimau China diukir di Saron dan Naga pada gantungan gong.


Gamelan ini pernah melanglangbuana ke Eropa berkat Karel Frederick Holle dan Adrian Walraven Holle bersama seniman Sunda ke beberapa negara Eropa untuk mempromosikan hasil perkebunan berupa teh dan kopi ditanah Sunda.

Dipentaskan secara rutin di World Exhibition Amsterdam, Belanda dari tahun 1880-1931 bersama seniman Sunda.

Pada tahun 1883 Gamelan Sari Oneng Parakansalak ikut pameran internasional di Amsterdam dalam rangka pameran teh sedunia.

Pada tahun 1889 mengikuti Pameran Exposition Universelle dalam rangka promosi teh di Paris, Prancis. Sekaligus perayaan 100 tahun Revolusi Perancis dan Peresmian Menara Eiffel

Dalam Buku COLONIAL SPECTACLES The Netherlands and The Dutch East Indies at the World Exhibitions 1880-1931 karya Marieke Bloembergen yang diterjemaahkan oleh Beverley Jackson menuliskan, lewat stand bernama "kampoeng" , pengunjung disuguhi pemukiman ala Jawa dan Sunda, pembuat batik, serta pengrajin senjata tradisional. Namun, primadonanya ada di gedung kesenian yang berkapasitas 1000 orang. Puluhan pemusik dan belasan penari ronggeng Sunda serta Mangkunegara Solo beraksi diiringi Gamelan Sari Oneng Parakansalak.

Dalam buku Soekaboemi the Untold Story @ Eiffel Tower-Paris, dikisahkan tentang delegasi gamelan Sari Oneng yang terdiri dari 75 orang pekerja dari perkebunan teh Parakansalak dan Sinagar yang dipimpin Suminta Mein mengisi acara dalam peresmian Menara Eiffel 31 Maret 1889, saking lamanya manggung disana (Sekitar 6 Bulan) sampai ada pemain yang hamil, bahkan melahirlan di Paris. Ada pula pemain yang meninggal dan dimakamkan di Paris. Hal itu dimuat dalam koran Prancis Le Figaro dan Le Rappel, pertunjukan mereka sangat sukses bahkan Claude Debussy seorang komposer Perancis, duduk berjam-jam mengagumi musik Gamelan dan mempengaruhi hasil karyanya seperti Danser Pour Harpa, Danse Sacree et Danse Profane, Pagodes dan Prelude a l'apres Midi d'un Faune.

Tahun 1893 ikut dalam pameran dalam rangka promosi Teh Chicago dalam acara World Columbian Exposition Chicago.

Kini Gamelan Sari Oneng jarang digunakan lagi, dari pentas keliling Eropa dan Amerika. Gamelan Sari Oneng kini hanya dipakai mengiringi kursus mnari anak-anak di Museum Prabu Geusan Ulun. Pertunjungan besar terakhir Gamelan Sari Oneng saat mengiringi ulang tahun pernikahan ke-60 Soeriadanoeningrat sekitar 36 tahun yang lalu serta terakhir, Gamelan Sari Oneng Parakansalak pada Desember 2012 dimainkan dalam acara Musyawarah Agung Raja dan Sultan Se-Nusantara yang bertempat di Gedung Merdeka, Bandung. Gamelan tersebut dimainkan untuk mengiringi tarian Jayeng Rana yang dilakukan oleh R. Widawati Noer Lesmana cucu dari R. Ono Lesmana Kartadikoesoemah

Lagu-lagu yang biasa dimainkan dan diiringi oleh Gamelan Sari Oneng Parakansalak ini diantaranya:

1. Soropongan – Dalem Bintang Aria Koesoemahdilaga (1919-1937)
2. Surasari – Pangeran Koesoema Dinata (Pangeran Soegih) (1834-1882)
3. Barong – Adipati Aria Koesoemahdilaga (1919-1937)
4. Sonteng – Pangeran Aria Soeria Atmadja (Pangeran Mekah) 1882-1919
5. Paksi Nguwung – Adipati Aria Soerya Natadibrata
6. Candirangrang - Adipati Aria Soerya Natadibrata
7. Gordah – Adipati Soerialaga 1765-1773
8. Wani-wani – Pangeran Koesoema Dinata (Pangéran Soegih) 1834-1882
9. Amengan – Pangeran Koesoema Dinata (Pangeran Soegih) 1834-1882

Rasa penasaran saya akan lagu-lagi ini saya cari di Youtube ternyata ada.

Selain sejarahnya yang cukup panjang, ada cerita mistis terselip pada kisah tentang Gamelan Sari Oneng Parakansalak ini. Gong yang bernama goong indung atau goong ageung (gong besar) yang mempunyai berat sekitar 30 kg, dimana gong ini pernah tertinggal di Belanda kemudian disimpan di Tropen Museum. Dikisahkan ketika itu gong besar ini selalu berbunyi sendiri, ia membuat takut pengelola dan pengunjung museum, karena hal tersebut maka pada tahun 1989 gong ageung ini dikembalikan ke Indonesia dan kembali ditempatkan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Beberapa alat musik mulai digerogoti usia dan tak lengkap lagi, seperti saron dan bonang yang kehilangan logam sumber bunyi. Pengelola Museum Prabu Geusan Ulun berharap perhatian besar pemerintah ikut mengusahakan yang terbaik untuk Gamelan Sari Oneng Parakansalak termasuk tempat penyimpanan yang representatif. Dibeberapa surat kabar saya pun membaca ada suatu keinginan Gamelan Sari Oneng Parakansalak kembali ke Sukabumi, sah sah saja menurut saya karena memang milik Parakansalak, Sukabumi. Hanya saja pihak Yayasan Pangeran Sumedang yang mengelola Museum Prabu Geusan Ulun termasuk Gamelan Sari Oneng Parakansalak yang ada dimuseum, agar Sukabumi mempunyai Museum yang representatif untuk gamelan tersebut.

Disarikan dari berbagai:
Surat Kabar
Buku
Disparbud Jabar
Tour Guide Museum
Photo Koleksi pribadi

Wednesday 21 March 2018

Cut Nyak Dhien dan Perang Aceh


Cut Nyak Dhien lahir pada 1848. Beliau berasal dari keluarga terkemuka di Lampadang, Kesultanan Aceh. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah pemimpin masyakarat (ulubalang) yang sangat disegani. Sejak kecil, Cut Nyak Dhien mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Pada usia 12 tahun, dia pun dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga.
Teuku Ibrahim Lamnga gugur dalam sebuah perang melawan Belanda di Gie Tarum, membuat Cut Nyak Dhien semakin membenci penjajah. Tak lama setelah itu, Teuku Umar pun datang melamar, namun awalnya Cut Nyak Dhien menolak.
Teuku Umar menyadari bahwa wanita yang ingin dinikahinya itu memiliki cita-cita yang sama dengan dirinya mengusir Belanda dari tanah Aceh dan menegakkan kembali agama Islam yang telah dinodai. Dia pun menjanjikan Cut Nyak Dhien boleh ikut berperang di garis depan. Lamaran pun diterima.
Pernikahan yang berlangsung di tahun 1880 itu, saat Cut Nyak Dhien berusia 32 tahun dan dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Bersama rakyat, mereka menaklukkan pos-pos Belanda. Pada satu saat, Teuku Umar menjalani strategi pura-pura bekerjasama dengan Belanda dan menyerahkan diri. Namun saat dia menerima banyak senjata, amunisi, dan perbekalan untuk membantu Belanda melawan rakyat, dia pun membawa kabur semuanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh.
31 tahun Perang Aceh yang berkecambuk sejak 1873-1904 antara Kesultanan Aceh dan Belanda, korban berjatuhan ratusan ribu orang baik dari Belanda, Aceh maupun sipil. Karena cukup panjangnya Perang Aceh ini dibagi beberapa periode.
Periode Pertama Perang Aceh (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Kohler. Kohler dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Kohler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang (Jihad fi sabilillah). Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh.
Berawal saat Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan masyarakat dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan. Sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya melawan kaphe-kaphe penjajah.
Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya.
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid, " kata Cut Nyak Dhien.
(Kutipan Dialog dalam Film Tjoet Nja' Dhien)
Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya untuk berjihad Fi Sabilillah. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh.
Selain itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan.
Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Panglima Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dhien akhirnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Meski dibuang dari Aceh ke tanah Pasundan (Jawa Barat), tepatnya Sumedang, Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan layak dan hanya dijadikan tahanan rumah. Di Sumedang ketika dibawa Belanda hingga ditemui Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeriaatmaja, Dhien ditempatkan di sebuah rumah dengan ditemani seorang ulama, KH Ilyas. Rumah yang ditempati Cut Nyak Dhien berada dibelakang Mesjid Agung Sumedang


Masjid Agung Sumedang dibelakang masjid ini ada rumah yang dihuni oleh Ibu Perbu (Cut Nyak Dhien) semasa diasingkan di Sumedang. Sayang saya melupakan untuk berkunjung ke rumah tersebut.
Setelah diasingkan di Sumedang, Cut Nyak Dhien mulai meninggalkan hal-hal duniawi. Selama masa pengasingannya ini juga warga sekitar tak ada yang tahu bahwa yang tinggal bersama KH Ilyas itu adalah bangsawan dan juga petarung Aceh, Cut Nyak Dhien.
Dia di masa pengasingan hanya dikenal dengan sebutan “Ibu Perbu” karena punya ilmu agama yang tergolong sangat baik. Bahkan, Dhien disebutkan sering memberikan dakwah dan pengajian dalam bahasa Arab.
Cut Nyak Dhien atau warga Sumedang menyebutnya “Ibu Perbu”, akhirnya tutup usia pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh. Jauh setelah meninggal sosok Ibu Perbu yang dikenal oleh masyarakat Sumedang itu baru diketahui setelah wafat adalah sosok Cut Nyak Dhien seorang pemimpin rakyat Aceh yang mengusir kaphe-kaphe penjajah dari Bumi Serambi Mekkah.


Ketika saya berkunjung ke Gunung Puyuh suasana sangat sejuk, jangan membayangkan jika kita akan mendaki gunung ketika akan berkunjung ke makam Cut Nyak Dhien. Lokasi Pemakamam Gunung Puyuh sebenarnya bukan hanya Cut Nyak Dhien saja yang dimakamkan disini, tetapi leluhur Sumedang pun dimakamkan disini seperti Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Soegih) beserta keluarganya.


Source:
- Wikipedia
- Buku Cut Nyak Dhien: Kisah Perang Ratu Aceh karya M.H. Skelely Lulofs
- Film Tjoet Nja Dhien (1988) Karya Eros Djarot
- Foto dokumentasi pribadi

Sunday 18 March 2018

Monumen Lingga





Monumen Lingga dilihat dari berbagai arah.

Monumen Lingga terletak ditengah alun-alun Sumedang, monumen ini menjadi landmark Kabupaten Sumedang dan dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang. Monumen ini merupakan tugu peringatan atas jasa-jasa Pangeran Soeriaatmadja dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang disegala aspek kehidupan sosial, keagamaan dan pendidikan pada masanya. Beliau memerintah Sumedang dari tahun 1883 sampai 1919. Monumen ini dibangun pada 22 Juli 1922 dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal M. Dirk Fock. Pangeran Soeriaatmadja sendiri wafat ketika sedang menunaikan ibadah haji pada tanggal 1 Juni 1921 sehingga sering disebut Pangeran Mekkah. Pada saat peresmian monumen ini ikut hadir Bupati Sumedang yang menggantikan Pangeran Aria Soeriaatmadja, yakni Tumenggung Koesoemadilaga dan beberapa pejabat Hindia-Belanda dan tentunya rakyat Sumedang.

Monumen Lingga ini dibangun oleh Pangeran Siching dari Belanda, mempunyai empat sisi dan kubah diatasnya. Bagian dasar berbentuk persegi dilengkapi dengan sejumlah anak tangga serta pagar disetiap sisinya. Bangunan utamanya berupa kubus yang sedikit melengkung disetiap sudut bagian atasnya. Pada bagian ini terdapat pintu yang dahulu digunakan untuk menyimpan barang terutama pusaka Sumedang atau peninggalan barang-barang Bupati terdahulu. Sisi sebelah barat terdapat enskripsi berhuruf cacarakan atau aksara sunda, pada sisi utara terdapat enskripsi berhuruf latin dengan bahasa melayu, disebelah timur terdapat enskripsi berhuruf cacarakan yang saya pun dari bahasa apa serta sisi selatan dengan terdapat enskripsi berhuruf latin dengan menggunakan Bahasa Sunda.

Mengapa di sebut Lingga ya? Pertanyaan tersebut belum bisa terjawab, seperti saya ketahui jika saya berkunjung ke candi-candi Hindu di sekitar Sleman dan Klaten sering ditemukan Lingga. Lingga sebagai objek pemujaan adalah sebuah simbol berbentuk tegak, tinggi yang menggambarkan Phallus (Penis) atau juga kemaluan Bhatara Siwa, bisa juga Lingga merupakan simbol dari kesuburan. Biasanya sering disimpan di tanah pertanian/persawahan juga. Namun relevansi nya terhadap Monumen Lingga di Sumedang ini belum saya ketahui.

Dahulu Monumen Lingga memiliki kesakralan tersendiri dimana orang-orang menganggap Monumen Lingga sebagai peninggalan sejarah yang harus dijaga, karena simbol sebagai penghargaan kepada sosok pemimpin rakyat Sumedang terlebih pusaka Sumedang Larang pernah tersimpan di Monumen Lingga ini namun sekarang barang-barang berharga termasuk pusaka disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun.

Monumen Lingga sebagai Lambang daerah Kabupaten Sumedang



Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanagara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga yang saya kutip dari wikipedia :

Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri

Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian

Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian

Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna

Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan

Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa

Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945

Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:

Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).

Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.

Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang

(Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.

A. Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
1. Prabu Guru Aji Putih tahun 900-an
2. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela tahun 950-an.
3. Prabu Gajah Agung tahun 980-an.
4. Sunan Guling tahun 1000-an.
5. Sunan Tuakan tahun 1200-an.
6. Nyi Mas Ratu Patuakan tahun 1450-an.
7. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata tahun 1530-1578.
8. Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) 1530-1578
9. Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578-16012

B. Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II

10. R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601-1625
11. Pangeran Rangga Gede 1625-1633
12. Pangeran Rangga Gempol II 1633-1656
13. Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656-1706

C. Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang:

14. Dalem Tumenggung Tanumaja 1706–1709
15. Pangeran Karuhun 1709–1744
16. Dalem Istri Rajaningrat 1744– 1759
17. Dalem Anom 1759– 1761
18. Dalem Adipati Surianagara 1761– 1765
19. Dalem Adipati Surialaga 1765– 1773
20. Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773–1775
21. Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775–1789
22. Dalem Aria Sacapati 1789–1791
23. Pangeran Kusumahdinata (Pangeran Kornel) 1791–1800
24. Bupati Republik Batavia Nederlands 1800–1810
25. Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk 1805–1810
26. Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810–1811
27. Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811–1815
28. Bupati Kerajaan Nederlands 1815–1828
29. Dalem Adipati Kusumahyuda (Dalem Ageung) 1828–1833
30. Dalem Adipati Kusumahdinata (Dalem Alit) 1833–1834
31. Dalem Tumenggung Suriadilaga/Dalem Sindangraja (1834–1836)
32. Pangeran Suria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih) 1836– 1882
33. Pangeran Aria Suria Atmaja (Pangeran Mekkah) 1882–1919
34. Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga (Dalem Bintang) 1919–1937
35. Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (Dalem Aria Sumatri) 1937–1942
36. Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942–1945
37. Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945–1946

D. Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

38. Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946–1947

E. Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia

39. Raden Tumenggung M. Singer 1947–1949

F. Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan

40. Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949–1950

G. Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950

41. Raden Abdurachman Kartadipura 1950–1951
42. Sulaeman Suwita Kusumah 1951-1958
43. Antan Sastradipura 1958–1960
44. Muhammad Hafil 1960–1966
45. Adang Kartaman 1966–1970
46. Drs. Supian Iskandar 1970–1972
47. Drs. Supian Iskandar1972–1977
48. Drs. Kustandi Abdurahman 1977–1983
49. Drs. Sutarja 1983–1988
50. Drs. Sutarja 1988–1993
51. Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993–1998
52. Drs. H. Misbach 1998–2003
53. H. Don Murdono,SH. Msi 2003-2008
54. H. Don Murdono,SH. Msi 2008– 2013
55. Drs. H. Endang Sukandar, M.Si 2013
56. Drs. H. Ade Irawan, M.Si 2013-2016
57. Ir. H. Eka Setiawan, Dipl., S.E., M.M. (Plt.) 2016 - Sekarang

Wednesday 14 March 2018

Museum Prabu Geusan Ulun

Kota leutik campernik
Najan leutik tapi resik
Ngaliwat Cadas Pangeran
Hmmmm, kota Sumedang

Kutipan Lagu Sumedang dari Musisi kawakan Sunda, Doel Sumbang itu yang teringat dalam benak saya ketika berkunjung ke Kabupaten Sumedang. Membicarakan Kab Sumedang, mungkin merupakan daerah yang paling lengkap dalam hal kebudayaan, pariwisata dan tempat bersejarah. Saya akan fokus ke Sejarah dengan mengunjungi Museum Prabu Geusan Ulun. Menempuh jarak 64 km dari rumah dengan waktu tempuh hampir 3 Jam dari Kota Cimahi.

Berawal dari ketidaksengajaan saya menonton Film Tjoet Nja Dhien (1988) Eros Djarot kemudian mencari informasi mengenai sosok Tjoet Nja Dhien. Ternyata tempat pengasingan beliau ada di Sumedang, bahkan beliau wafat di kebumikan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang. Akhirnya saya mantap untuk berkunjung ke Sumedang walaupun sendirian untuk mengunjungi makam Tjoet Nja Dhien, tidak hanya mengunjungi makam saya pun akan berkunjung ke Monumen Lingga dan Museum satu-satunya di Kabupaten Sumedang yaitu Museum Prabu Geusan Ulun.

Berbekal Google Map saya menelusuri jalur Cimahi-Sumedang, untuk sampe Tanjung Sari, Sumedang saya cukup hafal jalannya setelah lepas dari Tanjung Sari saya dibantu GPS. Suasana jalanan nampak lengan tiada kepadatan yang berarti, terhentak berhenti sesaat, ketika ada 2 jalur yang bercabang satu jalur kiri nampak menanjak dan satu jalur yang sebelah kanan cukup landai. Di tengah jalur percabangan tersebut ada monumen dengan 2 sosok patung yang sedang bersalaman. Setelah monumen tersebut jalur Cadas Pangeran sepanjang 4 km yang terkenal itu saya lewati, sesekali saya melihat Google Map untuk memastikan bahwa jalur yang saya lewati adalah jalur yang benar. Puluhan kilometer saya lewati akhirnya saya sampai di Sumedang Kota tepat didepan Alun-alun Sumedang Plat Name Situs Bersejarah Gedung Srimanganti berwarna biru saya tinggal belok kanan saja.



MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN

Sampai di Museum saya membayar tiket masuk Museum seharga Rp 5.000,- dan saya didampingi oleh Tour Guide Museum Bapak Abdul Syukur

Museum Prabu Geusan Ulun ini didirikan pada tahun 1974 terdiri dari beberapa gedung yang diberi nama unik sesuai fungsinya pertama:

GEDUNG SRIMANGANTI
Mendengar Nama Srimanganti saya teringat nama yang sama di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Bangsal Srimanganti. Gedung Srimanganti didirikan pada tahun 1706, pada masa pemerintahan Dalem Adipati Tanoemadja, arsitektur Gedung Srimanganti yang bergaya Kolonial Hindia-Belanda, menurut Bapak Abdul Syukur Srimanganti mempunyai arti adalah tempat menanti-nanti tamu kehormatan. Dahulu gedung Srimanganti dikenal sebagai rumah “Land Huizen” (Rumah Negara). Fungsi gedung Srimanganti pada masa itu adalah tempat tinggal untuk Bupati serta keluarganya. Gedung Srimanganti dipergunakan sebagai tempat tinggal bupati dan keluarganya, diantaranya Pangeran Kornel, Pangeran Soegih, Pangeran Mekah dan Dalem Bintang. Pada tahun 1942 Srimanganti tidak digunakan sebagai rumah tinggal Bupati serta keluarganya oleh Dalem Aria Soemantri dijadikan Kantor Kabupaten, sedangkan Bupati serta keluarganya tinggal di Gedung Gedung Negara. Gedung Srimanganti terdaftar pula dalam Monumenter Ordonantie 1931 sebagai bangunan Cagar Budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Pada tahun 1982 Gedung Srimanganti mengalami pemugaran karena sempat dijadikan kantor Pemda, setelah pemugaran Gedung Srimanganti diserahkan kembali kepada Yayasan Pangeran Sumedang oleh Direktur Kebudayaan pada masa itu. Jadi gedung ini memang bukan milik pemerintah namun, gedung ini milik keluarga. Ketika akan berkunjung ke Gedung Srimanganti sebagian gedung dipakai untuk rapat jadi saya di arahkan menuju gedung ini lewat belakang.

KOLEKSI
Koleksi-koleksi yang ada di Gedung Srimanganti adalah Meriam, Baju dinas Bupati Tumenggung Soeria Soemantri, baju dinas Bupati Adipati Aria Soeria Danoe Ningrat ada pula Baju dinas semacam Gamis panjang dan bendo atau ikat kepala khas semuai itu merupakan asli bukan replika.


GEDUNG BUMI KALER
Gedung Bumi Kaler dibangun pada tahun 1850, pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Soeria Koesoemah Adinata atau Pangeran Soegih yang memerintah Sumedang tahun 1836 – 1882. Gedung Bumi Kaler beberapa kali mengalami rehabilitasi pada tahun 1982, 1993 dan tahun 2006, namun tidak merubah dari bentuk aslinya. Sama halnya dengan Gedung Srimanganti, Gedung Bumi Kaler sudah terdaftar dalam Monumeter Ordonantie 1931 karena termasuk dalam bangunan yang dilindungi oleh pemerintah sebagai Benda Cagar Budaya. Gedung Bumi Kaler menjadi gedung Museum Prabu Geusan Ulun pada tahun 1982.

Gedung Bumi kaler adalah sebuah bangunan dengan bentuk arsitektural kayu tradisional dan terletak dibelakang bangunan utama Museum Prabu Geusan Ulun (Gedung Srimanganti), Secara umum arsitektur bangunan Bumi Kaler mengacu pada bentuk arsitektur tradisional sunda dengan beberapa karakteristik yakni bangunan rumah panggung. Material bangunan terbuat dari bahan lokal yang didominasi material kayu dan prinsip denah yang simetris.

KOLEKSI
Koleksi dari Gedung Bumi Kaler seperti Tiga buah harimau yang di awetkan, satu set furniture terdiri dari meja kerja, meja tamu, kursi, lemari dan sketsel atau penyekat ruangan dengan ukiran jepara hadiah dari ayah R.A. Kartini, H.M. Sosroningrat, Bupati Jepara saat itu ketika Raden Adipati Arie Soeria Atmadja diberi gelar Pangeran oleh Pemerintah Belanda sekitar tahun 1900.

Koleksi yang lain adalah Pepeten, Pepeten yang merupakan peninggalan Pengeran Aria Soeria Koesoemah Adi Nata (1836-1882) digunakan pada saat beliau menikahi putri dari pedagang China. The Pit Nio yang kemudian hari setelah menjadi permaisuri berganti nama menjadi Ni Raden Ayu Mustikaningrat. Pepeten atau botekan candi ini merupakan salah satu perlengkapan mempelai wanita yang dihiasi ukiran swastika dan bunga disetiap sisinya. Kecuali bagian depan dan belakang.

Filosofi dari bentuk segi empat dengan empat kakinya melambangkan hubungan yang kokoh, kuat dan tidak tergoyahkan serta bentuknya mengerucut menyerupai gunung merupakan doa bagi sepasang mempelai agar kehidupan keluarga mereka makin kokoh menggunung.


Lanjut ke ruangan lain dari bangunan Gedung Kaler ada sebuah dipan/tempat tidur, sebuah meja dari Pangeran Kornel dan Lukisan Pangeran Kornel dengan Wiliam Herman Daendels sedang berjabat tangan.
Menurut Bapak Abdul Syukur, Pangeran Kornel ialah nama lain bagi Pangeran Kusumadinata XI, bupati Sumedang tahun 1791-1828. Pangeran Kusumadinata oleh Belanda diangkat sebagai kolonel tituler. Istilah “kolonel” yang masih langka pada zaman itu, berubah menjadi “kornel”. Nama “Pangeran Kornel” itu sendiri lebih terkenal di masyarakat daripada namanya yang sebenarnya, mungkin karena lidah orang Sumedang yang lebih nyaman menyebut "Kornel" dibandingkan "Kolonel" Pemandu Museum saya Bapak Abdul Syukur.


GEDUNG GENDENG
Gedung Gendeng didirikan pada tahun 1850, pada masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata atau Pangeran Soegih. Gedung Gendeng pada waktu itu digunakan untuk menyimpan pusaka-pusaka leluhur dan senjata lainnya. Bangunan tersebut dibuat dari kayu dan berdinding Gedeng serta berlantai batu merah, selain itu Gedung Gendeng juga tempat menyimpan Gamelan Pusaka. Gedung Gendeng mengalami beberapa kali pemugaran dan rehabilitasi bangunan, pertama tahun 1950, 1955 dan tahun 1993. Namun karena benda Pusaka-pusaka makin banyak sampai akhirnya Gedung Gendeng tidak memadai lagi untuk menyimpan benda-benda Pusaka tersebut maka dibangunlah Gedung Pusaka khusus untuk menyimpan benda-benda Pusaka. Gedung Gendeng sekarang beralih fungsi menjadi Gedung Sosial Budaya. Kemudian Benda-benda Pusaka tersebut di buatkan gedung baru yang lebih besar untuk menyimpan koleksi pustaka bernama Gedung Pusaka

GEDUNG PUSAKA
Gedung Pusaka adalah salah satu gedung yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun sebagai gedung baru, pengganti Gedung Gendeng yang sudah tidak representatif lagi. Fungsi Gedung Pusaka sesuai namanya sebagai tempat khusus menyimpan benda-benda Pusaka peninggalan para leluhur Sumedang. Pembangunan Gedung Pusaka ini atas prakarsa Ibu Hj. Rd. Ratjih Natawidjaya ibunda dari Bapak Prof. DR. Ginanjar Kartasasmita, rencana Gedung Pusaka bisa dilaksanakan dengan melibatkan Yayasan Pangeran Sumedang, Rukun Wargi Sumedang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumedang, Departemen Pariwisata Sumedang, Pemerintah Daerah Sumedang dan Direktorat Permuseuman Propinsi Jawa Barat. Pada tanggal 25 Maret 1990 pembangunan Gedung Pusaka mulai dikerjakan dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Ibu Hj. Rd. Ratjih Natawidjaya. Proses pembangunan Gedung Pusaka memakan waktu cukup lama yaitu selama tujuh tahun, selesai pada tahun 1997, kemudian diresmikan oleh Bupati Sumedang Bapak Drs. H. Moch. Husein Jachjasaputra. Sementara biaya pembangunan Gedung Pusaka selain sumbangan dari Propinsi Jawa Barat juga sumbangan dari para wargi Sumedang, salah satunya sumbangan Sanggar Seni Sumedang “Padepokan Sekar Pusaka” pimpinan Bapak Rd. E. Lesmana Kartadikoesoemah (Alm)

KOLEKSI
Koleksi pusaka yang ada di Gedung ini diantaranya Mahkota Binokasih yang merupakan ikon dari Museum Prabu Geusan Ulun ini dimana mahkota ini adalah lambang kebesaran Kerajaan Padjadjaran sebelum diwarisan kepada Kerajaan Sumedang Larang ada pula 7 Pusaka ya teramat penting dimana disetiap Bulan Mulud 7 Pusaka tersebut "dibersihkan" diantaranya Pedang Ki Mastak, peninggalan Prabu Tadji Malela pendiri Kerajaan Sumedang Larang yang berpusat di Cihideung. Kemudian yang kedua Keris Ki Dukun milik Prabu Gajah Agung, beliau adalah putra dari Prabu Tadji Malela yang meneruskan kepemimpinan Kerajaan Sumedang Larang. Ketiga adalah Keris Panunggan Naga peninggalan Prabu Geusan Ulun raja / Nalendra Sumedang Larang yang berpusat di Kutamaya (Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Selatan) kemudian pindah ke Dayeuh Luhur (Sumedang Utara) . Pusaka keempat adalah Duhung dan Badik Curuk Aul milik Sanghyang Hawu atau lebih dikenal dengan Jaya Perkasa, pemimpin rombongan kandaga lante dari Kerajaan Padjadjaran yang mendapat tugas menyerahkan atribut Raja Padjadjaran (Mahkota Binokasih dll) kepada Prabu Geusan Ulun. Pusaka kelima adalah Keris Nagasasra milik Pangeran Rangga Gempol III Bupati Sumedang dari tahun 1656 sampai tahun 1706, keris ini merupakan hadiah atas penghargaan dari Sultan Mataram Amangkurat I berikut hadiah gelar "Pangeran Panembahan" atas pengabdian dan Jasa-jasanya dalam membangun dan mempertahankan Kabupaten Sumedang dari serangan musuh. Pusaka terakhir adalah pusaka keenam yaitu Keris Nagasasra II peninggalan dari R.A.A Surianagara Kusumadinata Bupati Sumedang dari tahun 1791-1828, Keris inilah yang dibawa dan digenggam sewaktu berhadapan dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dalam Peristiwa Cadas - Pangeran. Selain Mahkota Binokasih terdapat senjata tajam seperti pedang, keris, tombak, rencong yang identik dengan Aceh dimana Tjoet Nja Dhien diasingkan ke Sumedang. Ada pula senjata mirip keris tanpa lekukan dengan panjang sekitar 2 meter.


GEDUNG GAMELAN
Gedung Gamelan didirikan pada tahun 1973, oleh Pemerinta Daerah Sumedang atas sumbangan dari Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin adik dari Hasan Sadikin yang merupakan warga Sumedang juga, fungsi gedung ini sebagai tempat khusus menyimpan Gamelan – Gamelan Pusaka. Gedung Gamelan mengalami renovasi pada tahun 1993, selain sebagai tempat menyimpan Gamelan, gedung Gamelan juga dipakai sebagai tempat latihan tari klasik setiap hari minggu. Setiap satu tahun sekali pada bulan Mulud semua Gamelan Pusaka dicuci dan tidak dibunyikan latihan taripun diliburkan. Gedung Gamelan merupakan Gedung Museum Yayasan Pangeran Sumedang yang pertama dibangun.

KOLEKSI
Gamelan terdiri dari beberapa alam musik seperti Gong, kendang, gambang, bonang kempul, suling, saron dan masih banyak yang disebutkan oleh pemandu museum. Koleksi Gamelan di Museum Prabu Geusan Ulun ada dua yaitu:
Gamelan Sari Oneng Mataram adalah gamelan yang dibuat di Kerajaan Mataram sebagai hadiah kepada Kerajaan Sumedang Larang yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Gamelan ini adalah hadiah dari Kerajaan Mataram atas kemenangan dalam pertandingan adu muncang (kemiri) antara Senopati Sumedang dengan Senopati Mataram di Kerajaan Mataram pada masa Pemerintahan Wedana Pangeran Rangga Gempol III (1656-1706) . Kemudian Gamelan Sari Oneng Parakansalak, menurut data dari administratur Adriaan Wallrafenholle perkebunan teh Parakansalak Sukabumi, Gamelan Sari Oneng Parakansalak dibuat di Sumedang Tahun 1825, saat itu Sumedang merupakan pusat budaya di Jawa Barat. Sedangkan rancaknya sesuai dengan lambang-lambang yang ada. Menurut cerita dibuat dari kayu besi di Muangthai, pada tahun 1883 Gamelan Sari Oneng Parakansalak ikut pameran internasional di Amsterdam dalam rangka pameran teh sedunia. Pada tahun 1889 mengikuti Pameran Exposition Universelle dalam rangka promosi teh di Paris, Prancis. Tahun 1893 ikut dalam pameran dalam rangka promosi Teh Chicago.


GEDUNG KERETA KENCANA
Pada saat perencanaan pembangunan Gedung Pusaka direncanakan pula pembangunan Gedung Kereta. Gedung Kereta merupakan bangunan terakhir dari Museum Prabu Geusan Ulun yang dibangun pada tahun 1990. Fungsi Gedung ini untuk menyimpan Kareta Naga Barong sebagai replika dari Kareta Naga Paksi peninggalan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata / Pangeran Soegih dan kereta lainnya yang menjadi koleksi Museum Prabu Geusan Ulun.

Kereta Naga Paksi adalah kendaraan raja-raja Sumedang yang terbuat dari kayu yang dipahat dan diukir, kereta kencana ini kabarnya sudah ada ketika pada masa kepemimpinan Pangeran Soegih. Berat kereta naga paksi ini bisa sampai 2 ton dan panjang sekitar 6 meter menurut penuturan Tour Guide Museum, Bapak Abdul Syukur.

Kereta Naga Paksi ini sangat banyak makna yang terkandung didalamnya bertubuh ular, berkepala Naga, bersayap burung garuda serta belalai gajah yang sedang memegang senjata yang saya tidak tahu tapi mirip trisula.
Replika Kereta Naga Paksi ini merupakan replika yang kedua kalinya karena yang pertama dibuat rusak setelah beberapa tahun digunakan untuk event-event tertentu di Sumedang.



Replika Kereta Naga Paksi yang diperbaiki di Cirebon.

Friday 9 March 2018

Curug Dago Riwayat Mu Kini


Setelah berkunjung ke Tebing Karaton saya berkesempatan untuk mengunjungi Curug Dago masih di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Curug Dago merupakan Curug yang paling bawah dari rangkaian curug yang ada di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda air yang mengalir tersebut merupakan aliran Sungai Cikapundung yang membelah kota Bandung dari hulu nya yang berada di kawasan Maribaya.

Lokasi Curug Dago cukup terpencil dari Jalan Dago Pojok ada Plat Name berwarna Biru menandakan lokasi Curug Dago dan jalan pun cukup sempit, akses jalan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua jalanannya cukup licin harus berhati-hati. Memasuki pos pemeriksaan tiket lahan parkir cukup luas namun sangat disayangkan kawasan Curug Dago sangat memperihatinkan dan kurang terawat


Plat Name Curug Dago yang kusam tak terawat


Aliran air dari atas jembatan Curug Dago

Saya parkir kendaraan didepan plat name Curug Dago disitu ada area taman bermain sederhana, untuk menuju lokasi Curug Dago kita menelusuri anak tangga tidak terlalu banyak namun cukup tinggi antara tangga satu dengan yang lainnya, itu pun cukup sempit dikarenakan dahulu terjadi pengikisan tanah akibat derasnya air yang mengalir.

Karena kurang terawat dan minim informasi membuat Tempat Wisata Curug Dago Bandung jarang sekali dikunjungi oleh para pengunjung atau wisatawan, terlebih pihak pengelola Taman Hutan Raya Ir. H Djuana sepertinya lebih merevitalisasi objek wisata yang berada dikawasan sebelah utara yang lebih populer seperti Curug Omas disekitar Maribaya, Tebing Karaton yang akan membangun Sky Walk.

Walaupun Curug Dago ini kurang terawat tapi kental dengan jejak sejarah bagi Kerajaan Thailand pada zaman dulu kala. Tidak jauh dari lokasi air terjun tersebut, ada dua buah prasasti yaitu sebuah batu tulis peninggalan sekitar tahun 1818 -an.


Menurut para ahli sejarah, kedua prasasti tersebut adalah peninggalan Raja Rama V (Raja Chulalongkorn) serta Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) dari dinasti Chakri yang pernah berkunjung ke Curug Dago, Bandung Jawa Barat. Dua Prasasti yang menandai kedatangan mereka ke curug itu. Prasasti pertama tertulis sebagai berikut, “Raja Rama berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan ibu kota Kerajaan Thai Ratanakosin”. Raja Thailand itu diperkirakan datang ke Curug Dago pada tahun 1902. Prasasti itu juga dihiasi dengan tapak kaki, tangan dan bintang segilima. Prasasti kedua menandai kedatangan anak Raja Rama V 27 tahun kemudian. Prasastinya tertulis, “Prajatipok Paramintara. Tahun Budha 2472 (tahun 1929). Lantas apa yang di cari oleh Raja Chulalongkorn sampai menuju Curug Dago?

Memang ada tradisi yang menyatakan bahwa pada umumnya apabila seseorang Raja Thailand menemukan tempat panorama yang indah, maka biasanya di tempat tersebut sang raja melakukan bertapa atau semedi dan kadangkala menuliskan nama atau hal lainnya yang dianggap penting. Sekaligus merupakan kenangan dan pengakuan atas kekeramatan / kesucian tempat tersebut. Saya teringat ke Museum Nasional yang sering saya kunjungi, jejak peninggalan Raja Chulalongkorn tidak hanya ada di Bandung ketika Berkunjung ke Batavia Raja Chulalongkorn memberi hadiah sebuah patung gajah yang terbuat dari perunggu untuk Genootschap (Museum) dan saat ini patung gajah perunggu tersebut dipajang tepat didepan halaman Museum Nasional.


Saturday 3 March 2018

Tebing Karaton, Spot Indah di Patahan Lembang


Perjalanan menelusuri Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda saya lanjutkan bersama teman-teman, setelah berkunjung ke Gua Jepang, Gua Belanda dan Curug Koleang kita akan berkunjung ke Tebing Karaton atau yang dahulu disebut dengan Gawir Jontor sebuah spot dengan pemandangan yang luar biasa indahnya.

Berada diketinggian 1250 Mdpl Tebing Karaton menyuguhkan hamparan jalur patahan Lembang atau sesar Lembang, hutan yang lebat dan kabut yang tebal. Tebing ini sebenarnya sudah ada sejak dulu kala. Namun namanya belum setenar seperti sekarang. Dulu warga sekitar menyebut dengan Gawir Jontor atau Karang Jontor.

Tebing Karaton berada di dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Desa Ciburial, Kabupaten Bandung Barat. Tempat wisata ini dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Sejak pertengahan tahun 2014 banyak pengunjung yang memposting foto-foto keindahan Tebing Keraton sehingga menjadi viral di sosial media.


Waktu baik untuk mengunjungi Tebing Karaton adalah pada saat sunset dan sunrise. Kabut bergerak perlahan dan mulai digantikan cahaya keemasan dari mentari pagi. Sore harinya kita juga bisa menikmati indahnya langit dan siluet jajaran perbukitan termasuk Gunung Tangkuban Perahu. Sayang ketika saya berkunjung, lokasi masih diselimuti kabut tebal dengan cuaca yang mendung sehingga sinar matahari pagi tidak terlihat, memang akhir-akhir ini cuaca sedang tidak bersahabat.


Untuk mengunjungi Tebing Karaton, ke arah Utara menuju Dago Pakar lalu lanjut ke Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Dari pintu gerbang Tahura Djuanda belok ke kanan lanjut terus menuju Desa Ciburial. Dari desa ini sudah dekat, tinggal lanjut ke arah Kampung Ciharegem Puncak. Sesampainya disini kita harus memarkir kendaraan roda 4. Kemudian naik ojek atau jalan kaki sekitar 20 menit. Namun jika akan naik motor pribadi menuju titik lokasi Tebing Karaton haruslah ekstra berhati-hati selain jalanan yang sudah dicor ada pula jalanan cukup menanjak kemudian berbatu serta licin apalagi jika dipagi hari atau terjadi hujan rawan slip dan bisa terjatuh.

Dari Tebing Karaton kita bisa melihat view Lembang secara keseluruhan. Kontur Perbukitan yang hijau terhampar jelas ditambah hamparan pohon pinus yang tersusun rapi serta aliran sungai yang mengalir dari Curug Maribaya.


Patahan Lembang berpotensi Gempa sampai 6.8 SR

Di wilayah Kota Bandung memang terdapat struktur Sesar Lembang dengan panjang jalur sesar yang mencapai 30 km. Hasil kajian menunjukkan bahwa laju pergeseran Sesar Lembang mencapai 5,0 mm/tahun, sementara itu hasil monitoring BMKG juga menunjukkan adanya beberapa aktivitas seismik dengan kekuatan kecil. Adanya potensi gempa bumi di jalur Sesar Lembang dengan magnitudo maksimum 6,8 SR merupakan hasil kajian para ahli.

Hasil pemodelan peta tingkat guncangan (shakemap) oleh BMKG dengan skenario gempa dengan kekuatan M=6,8 dengan kedalaman hipocenter 10 km di zona Sesar Lembang menunjukkan bahwa dampak gempa dapat mencapai skala intensitas VII-VIII MMI (setara dengan percepatan tanah maksimum 0,2 - 0,4 g) dengan diskripsi terjadi kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Dinding tembok dapat lepas dari rangka, monument/menara roboh, dan air menjadi keruh. Sementara untuk bangunan sederhana non struktural dapat terjadi kerusakan berat hingga dapat menyebabkan bangunan roboh. Secara umum skala intensitas VII-VIII MMI dapat mengakibatkan terjadinya goncangan sangat kuat dengan kerusakan sedang hingga berat.

Dengan adanya hasil kajian potensi bencana, jangan sampai membuat masyarakat yang bermukim di dekat jalur sesar terus dicekam rasa khawatir. Warga masyarakat harus meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa dan mengikuti arahan pemerintah dalam melakukan evakuasi. Kegiatan sosialisasi di daerah rawan harus digalakkan, karena dapat membuat masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana. Kesiapan dalam menghadapi bencana terbukti dapat memperkecil jumlah korban.

Jangan sampai masyarakat mudah terpancing isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pastikan informasi gempa bumi berasal dari lembaga resmi pemerintah dalam hal ini BMKG.

Source: www.bmkg.go.id

Bagi yang akan berkunjung ke Tebing Karaton cukup membayar tiket Rp 12.000,- per orang ditambah parkir Rp 5.000.- per motor.


Thursday 1 March 2018

Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika


Pict: Wikipedia

Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, Beliau adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Ibunya Raden Adjeng Legan Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai Patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara seorang Bupati Bandung dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.



Makam R. Dewi Sartika di Jalan Karang Anyar, Kota Bandung

Biografi
Nama : Raden Dewi Sartika
Lahir : Cicalengka, Jawa Barat, 4 Desember 1884
Pekerjaan : Guru
Meninggal : Cinean, 11 September 1947
Makam : Cinean, kemudian dipindahkan ke Bandung
Suami : Raden Kanduruan Agah Suriawinata
Ayah : Raden Somanagara Pendidikan : SD Cicalengka
Perjuangan : Mendirikan Sekolah Isteri (16 Januari 1904) Sekolah Isteri berganti nama menjadi Sekolah Keutamaan Isteri (tahun 1910)Sekolah Keutamaan Isteri berganti nama lagi menjadi Sekolah Raden Dewi (tahun 1929)
Penghargaan : Bintang Perak dari pemerintah
Gelar kepahlawanan : Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.252 Tahun 1966)