Wednesday 14 March 2018

Museum Prabu Geusan Ulun

Kota leutik campernik
Najan leutik tapi resik
Ngaliwat Cadas Pangeran
Hmmmm, kota Sumedang

Kutipan Lagu Sumedang dari Musisi kawakan Sunda, Doel Sumbang itu yang teringat dalam benak saya ketika berkunjung ke Kabupaten Sumedang. Membicarakan Kab Sumedang, mungkin merupakan daerah yang paling lengkap dalam hal kebudayaan, pariwisata dan tempat bersejarah. Saya akan fokus ke Sejarah dengan mengunjungi Museum Prabu Geusan Ulun. Menempuh jarak 64 km dari rumah dengan waktu tempuh hampir 3 Jam dari Kota Cimahi.

Berawal dari ketidaksengajaan saya menonton Film Tjoet Nja Dhien (1988) Eros Djarot kemudian mencari informasi mengenai sosok Tjoet Nja Dhien. Ternyata tempat pengasingan beliau ada di Sumedang, bahkan beliau wafat di kebumikan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang. Akhirnya saya mantap untuk berkunjung ke Sumedang walaupun sendirian untuk mengunjungi makam Tjoet Nja Dhien, tidak hanya mengunjungi makam saya pun akan berkunjung ke Monumen Lingga dan Museum satu-satunya di Kabupaten Sumedang yaitu Museum Prabu Geusan Ulun.

Berbekal Google Map saya menelusuri jalur Cimahi-Sumedang, untuk sampe Tanjung Sari, Sumedang saya cukup hafal jalannya setelah lepas dari Tanjung Sari saya dibantu GPS. Suasana jalanan nampak lengan tiada kepadatan yang berarti, terhentak berhenti sesaat, ketika ada 2 jalur yang bercabang satu jalur kiri nampak menanjak dan satu jalur yang sebelah kanan cukup landai. Di tengah jalur percabangan tersebut ada monumen dengan 2 sosok patung yang sedang bersalaman. Setelah monumen tersebut jalur Cadas Pangeran sepanjang 4 km yang terkenal itu saya lewati, sesekali saya melihat Google Map untuk memastikan bahwa jalur yang saya lewati adalah jalur yang benar. Puluhan kilometer saya lewati akhirnya saya sampai di Sumedang Kota tepat didepan Alun-alun Sumedang Plat Name Situs Bersejarah Gedung Srimanganti berwarna biru saya tinggal belok kanan saja.



MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN

Sampai di Museum saya membayar tiket masuk Museum seharga Rp 5.000,- dan saya didampingi oleh Tour Guide Museum Bapak Abdul Syukur

Museum Prabu Geusan Ulun ini didirikan pada tahun 1974 terdiri dari beberapa gedung yang diberi nama unik sesuai fungsinya pertama:

GEDUNG SRIMANGANTI
Mendengar Nama Srimanganti saya teringat nama yang sama di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Bangsal Srimanganti. Gedung Srimanganti didirikan pada tahun 1706, pada masa pemerintahan Dalem Adipati Tanoemadja, arsitektur Gedung Srimanganti yang bergaya Kolonial Hindia-Belanda, menurut Bapak Abdul Syukur Srimanganti mempunyai arti adalah tempat menanti-nanti tamu kehormatan. Dahulu gedung Srimanganti dikenal sebagai rumah “Land Huizen” (Rumah Negara). Fungsi gedung Srimanganti pada masa itu adalah tempat tinggal untuk Bupati serta keluarganya. Gedung Srimanganti dipergunakan sebagai tempat tinggal bupati dan keluarganya, diantaranya Pangeran Kornel, Pangeran Soegih, Pangeran Mekah dan Dalem Bintang. Pada tahun 1942 Srimanganti tidak digunakan sebagai rumah tinggal Bupati serta keluarganya oleh Dalem Aria Soemantri dijadikan Kantor Kabupaten, sedangkan Bupati serta keluarganya tinggal di Gedung Gedung Negara. Gedung Srimanganti terdaftar pula dalam Monumenter Ordonantie 1931 sebagai bangunan Cagar Budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Pada tahun 1982 Gedung Srimanganti mengalami pemugaran karena sempat dijadikan kantor Pemda, setelah pemugaran Gedung Srimanganti diserahkan kembali kepada Yayasan Pangeran Sumedang oleh Direktur Kebudayaan pada masa itu. Jadi gedung ini memang bukan milik pemerintah namun, gedung ini milik keluarga. Ketika akan berkunjung ke Gedung Srimanganti sebagian gedung dipakai untuk rapat jadi saya di arahkan menuju gedung ini lewat belakang.

KOLEKSI
Koleksi-koleksi yang ada di Gedung Srimanganti adalah Meriam, Baju dinas Bupati Tumenggung Soeria Soemantri, baju dinas Bupati Adipati Aria Soeria Danoe Ningrat ada pula Baju dinas semacam Gamis panjang dan bendo atau ikat kepala khas semuai itu merupakan asli bukan replika.


GEDUNG BUMI KALER
Gedung Bumi Kaler dibangun pada tahun 1850, pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Soeria Koesoemah Adinata atau Pangeran Soegih yang memerintah Sumedang tahun 1836 – 1882. Gedung Bumi Kaler beberapa kali mengalami rehabilitasi pada tahun 1982, 1993 dan tahun 2006, namun tidak merubah dari bentuk aslinya. Sama halnya dengan Gedung Srimanganti, Gedung Bumi Kaler sudah terdaftar dalam Monumeter Ordonantie 1931 karena termasuk dalam bangunan yang dilindungi oleh pemerintah sebagai Benda Cagar Budaya. Gedung Bumi Kaler menjadi gedung Museum Prabu Geusan Ulun pada tahun 1982.

Gedung Bumi kaler adalah sebuah bangunan dengan bentuk arsitektural kayu tradisional dan terletak dibelakang bangunan utama Museum Prabu Geusan Ulun (Gedung Srimanganti), Secara umum arsitektur bangunan Bumi Kaler mengacu pada bentuk arsitektur tradisional sunda dengan beberapa karakteristik yakni bangunan rumah panggung. Material bangunan terbuat dari bahan lokal yang didominasi material kayu dan prinsip denah yang simetris.

KOLEKSI
Koleksi dari Gedung Bumi Kaler seperti Tiga buah harimau yang di awetkan, satu set furniture terdiri dari meja kerja, meja tamu, kursi, lemari dan sketsel atau penyekat ruangan dengan ukiran jepara hadiah dari ayah R.A. Kartini, H.M. Sosroningrat, Bupati Jepara saat itu ketika Raden Adipati Arie Soeria Atmadja diberi gelar Pangeran oleh Pemerintah Belanda sekitar tahun 1900.

Koleksi yang lain adalah Pepeten, Pepeten yang merupakan peninggalan Pengeran Aria Soeria Koesoemah Adi Nata (1836-1882) digunakan pada saat beliau menikahi putri dari pedagang China. The Pit Nio yang kemudian hari setelah menjadi permaisuri berganti nama menjadi Ni Raden Ayu Mustikaningrat. Pepeten atau botekan candi ini merupakan salah satu perlengkapan mempelai wanita yang dihiasi ukiran swastika dan bunga disetiap sisinya. Kecuali bagian depan dan belakang.

Filosofi dari bentuk segi empat dengan empat kakinya melambangkan hubungan yang kokoh, kuat dan tidak tergoyahkan serta bentuknya mengerucut menyerupai gunung merupakan doa bagi sepasang mempelai agar kehidupan keluarga mereka makin kokoh menggunung.


Lanjut ke ruangan lain dari bangunan Gedung Kaler ada sebuah dipan/tempat tidur, sebuah meja dari Pangeran Kornel dan Lukisan Pangeran Kornel dengan Wiliam Herman Daendels sedang berjabat tangan.
Menurut Bapak Abdul Syukur, Pangeran Kornel ialah nama lain bagi Pangeran Kusumadinata XI, bupati Sumedang tahun 1791-1828. Pangeran Kusumadinata oleh Belanda diangkat sebagai kolonel tituler. Istilah “kolonel” yang masih langka pada zaman itu, berubah menjadi “kornel”. Nama “Pangeran Kornel” itu sendiri lebih terkenal di masyarakat daripada namanya yang sebenarnya, mungkin karena lidah orang Sumedang yang lebih nyaman menyebut "Kornel" dibandingkan "Kolonel" Pemandu Museum saya Bapak Abdul Syukur.


GEDUNG GENDENG
Gedung Gendeng didirikan pada tahun 1850, pada masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata atau Pangeran Soegih. Gedung Gendeng pada waktu itu digunakan untuk menyimpan pusaka-pusaka leluhur dan senjata lainnya. Bangunan tersebut dibuat dari kayu dan berdinding Gedeng serta berlantai batu merah, selain itu Gedung Gendeng juga tempat menyimpan Gamelan Pusaka. Gedung Gendeng mengalami beberapa kali pemugaran dan rehabilitasi bangunan, pertama tahun 1950, 1955 dan tahun 1993. Namun karena benda Pusaka-pusaka makin banyak sampai akhirnya Gedung Gendeng tidak memadai lagi untuk menyimpan benda-benda Pusaka tersebut maka dibangunlah Gedung Pusaka khusus untuk menyimpan benda-benda Pusaka. Gedung Gendeng sekarang beralih fungsi menjadi Gedung Sosial Budaya. Kemudian Benda-benda Pusaka tersebut di buatkan gedung baru yang lebih besar untuk menyimpan koleksi pustaka bernama Gedung Pusaka

GEDUNG PUSAKA
Gedung Pusaka adalah salah satu gedung yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun sebagai gedung baru, pengganti Gedung Gendeng yang sudah tidak representatif lagi. Fungsi Gedung Pusaka sesuai namanya sebagai tempat khusus menyimpan benda-benda Pusaka peninggalan para leluhur Sumedang. Pembangunan Gedung Pusaka ini atas prakarsa Ibu Hj. Rd. Ratjih Natawidjaya ibunda dari Bapak Prof. DR. Ginanjar Kartasasmita, rencana Gedung Pusaka bisa dilaksanakan dengan melibatkan Yayasan Pangeran Sumedang, Rukun Wargi Sumedang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumedang, Departemen Pariwisata Sumedang, Pemerintah Daerah Sumedang dan Direktorat Permuseuman Propinsi Jawa Barat. Pada tanggal 25 Maret 1990 pembangunan Gedung Pusaka mulai dikerjakan dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Ibu Hj. Rd. Ratjih Natawidjaya. Proses pembangunan Gedung Pusaka memakan waktu cukup lama yaitu selama tujuh tahun, selesai pada tahun 1997, kemudian diresmikan oleh Bupati Sumedang Bapak Drs. H. Moch. Husein Jachjasaputra. Sementara biaya pembangunan Gedung Pusaka selain sumbangan dari Propinsi Jawa Barat juga sumbangan dari para wargi Sumedang, salah satunya sumbangan Sanggar Seni Sumedang “Padepokan Sekar Pusaka” pimpinan Bapak Rd. E. Lesmana Kartadikoesoemah (Alm)

KOLEKSI
Koleksi pusaka yang ada di Gedung ini diantaranya Mahkota Binokasih yang merupakan ikon dari Museum Prabu Geusan Ulun ini dimana mahkota ini adalah lambang kebesaran Kerajaan Padjadjaran sebelum diwarisan kepada Kerajaan Sumedang Larang ada pula 7 Pusaka ya teramat penting dimana disetiap Bulan Mulud 7 Pusaka tersebut "dibersihkan" diantaranya Pedang Ki Mastak, peninggalan Prabu Tadji Malela pendiri Kerajaan Sumedang Larang yang berpusat di Cihideung. Kemudian yang kedua Keris Ki Dukun milik Prabu Gajah Agung, beliau adalah putra dari Prabu Tadji Malela yang meneruskan kepemimpinan Kerajaan Sumedang Larang. Ketiga adalah Keris Panunggan Naga peninggalan Prabu Geusan Ulun raja / Nalendra Sumedang Larang yang berpusat di Kutamaya (Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Selatan) kemudian pindah ke Dayeuh Luhur (Sumedang Utara) . Pusaka keempat adalah Duhung dan Badik Curuk Aul milik Sanghyang Hawu atau lebih dikenal dengan Jaya Perkasa, pemimpin rombongan kandaga lante dari Kerajaan Padjadjaran yang mendapat tugas menyerahkan atribut Raja Padjadjaran (Mahkota Binokasih dll) kepada Prabu Geusan Ulun. Pusaka kelima adalah Keris Nagasasra milik Pangeran Rangga Gempol III Bupati Sumedang dari tahun 1656 sampai tahun 1706, keris ini merupakan hadiah atas penghargaan dari Sultan Mataram Amangkurat I berikut hadiah gelar "Pangeran Panembahan" atas pengabdian dan Jasa-jasanya dalam membangun dan mempertahankan Kabupaten Sumedang dari serangan musuh. Pusaka terakhir adalah pusaka keenam yaitu Keris Nagasasra II peninggalan dari R.A.A Surianagara Kusumadinata Bupati Sumedang dari tahun 1791-1828, Keris inilah yang dibawa dan digenggam sewaktu berhadapan dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dalam Peristiwa Cadas - Pangeran. Selain Mahkota Binokasih terdapat senjata tajam seperti pedang, keris, tombak, rencong yang identik dengan Aceh dimana Tjoet Nja Dhien diasingkan ke Sumedang. Ada pula senjata mirip keris tanpa lekukan dengan panjang sekitar 2 meter.


GEDUNG GAMELAN
Gedung Gamelan didirikan pada tahun 1973, oleh Pemerinta Daerah Sumedang atas sumbangan dari Gubernur DKI Jakarta Bapak Ali Sadikin adik dari Hasan Sadikin yang merupakan warga Sumedang juga, fungsi gedung ini sebagai tempat khusus menyimpan Gamelan – Gamelan Pusaka. Gedung Gamelan mengalami renovasi pada tahun 1993, selain sebagai tempat menyimpan Gamelan, gedung Gamelan juga dipakai sebagai tempat latihan tari klasik setiap hari minggu. Setiap satu tahun sekali pada bulan Mulud semua Gamelan Pusaka dicuci dan tidak dibunyikan latihan taripun diliburkan. Gedung Gamelan merupakan Gedung Museum Yayasan Pangeran Sumedang yang pertama dibangun.

KOLEKSI
Gamelan terdiri dari beberapa alam musik seperti Gong, kendang, gambang, bonang kempul, suling, saron dan masih banyak yang disebutkan oleh pemandu museum. Koleksi Gamelan di Museum Prabu Geusan Ulun ada dua yaitu:
Gamelan Sari Oneng Mataram adalah gamelan yang dibuat di Kerajaan Mataram sebagai hadiah kepada Kerajaan Sumedang Larang yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Gamelan ini adalah hadiah dari Kerajaan Mataram atas kemenangan dalam pertandingan adu muncang (kemiri) antara Senopati Sumedang dengan Senopati Mataram di Kerajaan Mataram pada masa Pemerintahan Wedana Pangeran Rangga Gempol III (1656-1706) . Kemudian Gamelan Sari Oneng Parakansalak, menurut data dari administratur Adriaan Wallrafenholle perkebunan teh Parakansalak Sukabumi, Gamelan Sari Oneng Parakansalak dibuat di Sumedang Tahun 1825, saat itu Sumedang merupakan pusat budaya di Jawa Barat. Sedangkan rancaknya sesuai dengan lambang-lambang yang ada. Menurut cerita dibuat dari kayu besi di Muangthai, pada tahun 1883 Gamelan Sari Oneng Parakansalak ikut pameran internasional di Amsterdam dalam rangka pameran teh sedunia. Pada tahun 1889 mengikuti Pameran Exposition Universelle dalam rangka promosi teh di Paris, Prancis. Tahun 1893 ikut dalam pameran dalam rangka promosi Teh Chicago.


GEDUNG KERETA KENCANA
Pada saat perencanaan pembangunan Gedung Pusaka direncanakan pula pembangunan Gedung Kereta. Gedung Kereta merupakan bangunan terakhir dari Museum Prabu Geusan Ulun yang dibangun pada tahun 1990. Fungsi Gedung ini untuk menyimpan Kareta Naga Barong sebagai replika dari Kareta Naga Paksi peninggalan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata / Pangeran Soegih dan kereta lainnya yang menjadi koleksi Museum Prabu Geusan Ulun.

Kereta Naga Paksi adalah kendaraan raja-raja Sumedang yang terbuat dari kayu yang dipahat dan diukir, kereta kencana ini kabarnya sudah ada ketika pada masa kepemimpinan Pangeran Soegih. Berat kereta naga paksi ini bisa sampai 2 ton dan panjang sekitar 6 meter menurut penuturan Tour Guide Museum, Bapak Abdul Syukur.

Kereta Naga Paksi ini sangat banyak makna yang terkandung didalamnya bertubuh ular, berkepala Naga, bersayap burung garuda serta belalai gajah yang sedang memegang senjata yang saya tidak tahu tapi mirip trisula.
Replika Kereta Naga Paksi ini merupakan replika yang kedua kalinya karena yang pertama dibuat rusak setelah beberapa tahun digunakan untuk event-event tertentu di Sumedang.



Replika Kereta Naga Paksi yang diperbaiki di Cirebon.

No comments:

Post a Comment