Wednesday 21 March 2018

Cut Nyak Dhien dan Perang Aceh


Cut Nyak Dhien lahir pada 1848. Beliau berasal dari keluarga terkemuka di Lampadang, Kesultanan Aceh. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah pemimpin masyakarat (ulubalang) yang sangat disegani. Sejak kecil, Cut Nyak Dhien mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Pada usia 12 tahun, dia pun dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga.
Teuku Ibrahim Lamnga gugur dalam sebuah perang melawan Belanda di Gie Tarum, membuat Cut Nyak Dhien semakin membenci penjajah. Tak lama setelah itu, Teuku Umar pun datang melamar, namun awalnya Cut Nyak Dhien menolak.
Teuku Umar menyadari bahwa wanita yang ingin dinikahinya itu memiliki cita-cita yang sama dengan dirinya mengusir Belanda dari tanah Aceh dan menegakkan kembali agama Islam yang telah dinodai. Dia pun menjanjikan Cut Nyak Dhien boleh ikut berperang di garis depan. Lamaran pun diterima.
Pernikahan yang berlangsung di tahun 1880 itu, saat Cut Nyak Dhien berusia 32 tahun dan dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Bersama rakyat, mereka menaklukkan pos-pos Belanda. Pada satu saat, Teuku Umar menjalani strategi pura-pura bekerjasama dengan Belanda dan menyerahkan diri. Namun saat dia menerima banyak senjata, amunisi, dan perbekalan untuk membantu Belanda melawan rakyat, dia pun membawa kabur semuanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh.
31 tahun Perang Aceh yang berkecambuk sejak 1873-1904 antara Kesultanan Aceh dan Belanda, korban berjatuhan ratusan ribu orang baik dari Belanda, Aceh maupun sipil. Karena cukup panjangnya Perang Aceh ini dibagi beberapa periode.
Periode Pertama Perang Aceh (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Kohler. Kohler dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Kohler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang (Jihad fi sabilillah). Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh.
Berawal saat Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan masyarakat dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan. Sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya melawan kaphe-kaphe penjajah.
Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya.
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid, " kata Cut Nyak Dhien.
(Kutipan Dialog dalam Film Tjoet Nja' Dhien)
Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya untuk berjihad Fi Sabilillah. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh.
Selain itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan.
Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Panglima Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dhien akhirnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Meski dibuang dari Aceh ke tanah Pasundan (Jawa Barat), tepatnya Sumedang, Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan layak dan hanya dijadikan tahanan rumah. Di Sumedang ketika dibawa Belanda hingga ditemui Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Soeriaatmaja, Dhien ditempatkan di sebuah rumah dengan ditemani seorang ulama, KH Ilyas. Rumah yang ditempati Cut Nyak Dhien berada dibelakang Mesjid Agung Sumedang


Masjid Agung Sumedang dibelakang masjid ini ada rumah yang dihuni oleh Ibu Perbu (Cut Nyak Dhien) semasa diasingkan di Sumedang. Sayang saya melupakan untuk berkunjung ke rumah tersebut.
Setelah diasingkan di Sumedang, Cut Nyak Dhien mulai meninggalkan hal-hal duniawi. Selama masa pengasingannya ini juga warga sekitar tak ada yang tahu bahwa yang tinggal bersama KH Ilyas itu adalah bangsawan dan juga petarung Aceh, Cut Nyak Dhien.
Dia di masa pengasingan hanya dikenal dengan sebutan “Ibu Perbu” karena punya ilmu agama yang tergolong sangat baik. Bahkan, Dhien disebutkan sering memberikan dakwah dan pengajian dalam bahasa Arab.
Cut Nyak Dhien atau warga Sumedang menyebutnya “Ibu Perbu”, akhirnya tutup usia pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh. Jauh setelah meninggal sosok Ibu Perbu yang dikenal oleh masyarakat Sumedang itu baru diketahui setelah wafat adalah sosok Cut Nyak Dhien seorang pemimpin rakyat Aceh yang mengusir kaphe-kaphe penjajah dari Bumi Serambi Mekkah.


Ketika saya berkunjung ke Gunung Puyuh suasana sangat sejuk, jangan membayangkan jika kita akan mendaki gunung ketika akan berkunjung ke makam Cut Nyak Dhien. Lokasi Pemakamam Gunung Puyuh sebenarnya bukan hanya Cut Nyak Dhien saja yang dimakamkan disini, tetapi leluhur Sumedang pun dimakamkan disini seperti Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Soegih) beserta keluarganya.


Source:
- Wikipedia
- Buku Cut Nyak Dhien: Kisah Perang Ratu Aceh karya M.H. Skelely Lulofs
- Film Tjoet Nja Dhien (1988) Karya Eros Djarot
- Foto dokumentasi pribadi

No comments:

Post a Comment