Saturday 26 May 2018

Wana Wisata Kampoeng Ciherang


Setelah berkunjung ke Monumen Pangeran Kusumadinata IX dengan Herman Willem Daendels di Jalan Cadas Pangeran, keesokan harinya saya berkunjung ke Wana Wisata Kampoeng Ciherang, sebuah destinasi wisata baru yang berada di Dusun Cijambu, Desa Kadakajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Destinasi wisata baru diresmikan pada pertengahan Februari 2017 oleh Elan Berlian, Kepala Divisi Regional Direktorat Perum Perhutani Jawa Barat dan Banten, terlihat dari batu prasasti peresmiannya. Jalur menuju Wana Wisata Kampoeng Ciherang jika ditarik dari Alun-alun Tanjungsari sekitar 13 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit, lamanya waktu tempuh dikarenakan jalur ini terdapat kerusakan walau ada juga jalan yang mulus. Untuk kendaraan beroda 4 hanya bisa mobil saja dikarenakan cukup sempit apalagi jika dari kedua arah saling berpapasan salah satu harus menepi terlebih dahulu. Walaupun akses jalan menuju Wana Wisata Kampoeng Ciherang belum memadai namun disebelah kiri dan kanan jalan pemandangannya sangat indah, hamparan sawah-sawah yang hijau termasuk terasering dan jurang dan sungai yang mengalir menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung kesini. 

Tiba di lokasi disuguhi oleh plate name yang terbuat dari bambu dan jajaran batu menyapa pengunjung bertuliskan "Wana Wisata Kampoeng Ciherang" tidak lama kemudian mengambil kamera untuk mengabadikan momen disini sebelum masuk tempat wisatanya. Jauh dari sumpeknya perkotaan dan lingkungannya masih asri dan ekosistem alamnya masih terjaga dengan baik sepertinya. Hutan Pinus yang menjulang tinggi, berjajar membentuk barisan yang cantik, sinar matahari menyapa disela-sela pohon pinus, air jernih yang mengalir di aliran sungai sepanjang hutan kawasan wisata ini dan pastinya sangat dingin.

Dengan membayar tiket masuk seharga Rp30.000,- (Bulan Maret 2018) sudah termasuk tiket masuk wahana-wahana yang ada di Wana Wisata Wisata Kampoeng Ciherang seperti sepeda gantung, outbond dewasa maupun anak-anak, paparahuan, papanahan dan spot-spot selfi untuk diabadikan di media sosial kalian. Disini pula disewakan seperti tikar dan hammock untuk merasakan sensasi tidur beralaskan langit, banyak pula penjual berbagai makanan yang relatif murah tidak menguras kantong kalian, menu nya pun bervariasi mulai dari makanan khas sunda, hingga makanan yang kekinian baso, sosis bakar dll. jika ingin lebih berhemat tinggal bawa makanan saja dari rumah hal tersebut diperbolehkan oleh pengelola.

Jajaran Pohon Pinus yang berada di Wana Wisata Kampoeng Ciherang 

Hutan pinus dengan cahaya matahari yang menyinari

Di Wana Wisata Kampoeng Ciherang tersedia pula fasilitas penunjang seperti toilet, mushola, lahan parkir dan jangan lupa siapkan smartphone atau kamera kalian karena Wana Wisata Kampoeng Ciherang ada spot-spot menarik yang dijadikan foto selfi. Wana Wisata Kampoeng Ciherang sangat cocok untuk dijadikan tempat wisata di Hari Raya Idul Fitri 1439 H bersama keluarga besar kalian.

Sungai kecil yang mengalir airnya sangat dingin

Mencoba wahana-wahana yang ada di Wana Wisata Kampoeng Ciherang

Sepeda Gantung cukup memacu adrenalin terutama jika sedang goyang-goyang ditengah, kayuhan sepeda yang saya pake cukup berat

Wahana selanjutnya yaitu Paparahuan cukup sulit untuk mengendalikan dayung tersebut sehingga arah boatnya tidak jelas kemana-mana bahkan sering tidak bisa dikendalian hanya berputar-putar di situ-situ saja. 

Jembatan sebelum ber-outbond dan menaiki flying fox 

 Menunggu giliran naik flying fox ini pertama kalinya naik flying fox dan cukup exciting 

Gayanya sudah kayak Robin Hood gak?

Apa yang anda pikirkan?


Video Sepeda Gantung di Wana Wisata Kampoeng Ciherang, Kabupaten Sumedang

Tuesday 22 May 2018

Cadas Pangeran Antara Mitos dan Fakta


Kali kedua saya berkunjung ke Kabupaten Sumedang terakhir saya mengunjungi Museum Prabu Geusan Ulun, Monumen Lingga dan terakhir Makam Raja Sumedang Larang serta Cut Nyak Dhien di Gunung Puyuh, kali ini saya berkunjung ke Monumen Pangeran Kornel dengan Herman William Daendels yang sedang berjabat tangan dengan tidak lazim, lokasinya tepat dititik awal Jalan Cadas Pangeran. Ketika berkunjung ke Museum Prabu Geusan Ulun dijelaskan oleh tour guide mengenai sejarah jabat tangan Pangeran Kusumadinata IX dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 Herman Williem Daendels serta pembuatan Jalan Cadas Pangeran.

Sejarah mencatat bahwa Jalan Cadas Pangeran merupakan Jalan raya sepanjang hanya sekitar 3 km yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu Herman Willem Daendels yang merupakan penghubung antara Cirebon dan Bandung melalui Sumedang. Jalan Cadas Pangeran merupakan bagian dari Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) terbentang 1.000 km dari Anyer (Banten) menuju Panarukan (Jawa Timur) dibuat tahun 1808.


Dalam pembuatan jalan Cadas Pangeran pembangunannya menelan banyak korban jiwa rakyat Sumedang yang dipaksa mengerjakan proyek ambisius Herman Willem Daendels tersebut. Ketika itu Bupati Sumedang (1791-1828), Pangeran Kusumadinata atau rakyat Sumedang saat itu sering menyebutnya Pangeran Kornel marah besar melihat rakyatnya diperlakukan seperti itu.

Jabat tangan yang terekam dalam monumen di Cadas Pangeran, Sumedang tersebut dikisahkan ketika Pangeran Kornel menemui Herman Williem Daendels dalam proses pembuatan Jalan Cadas Pangeran tersebut. Ketika itu Daendels mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan Pangeran Kornel, namun tak disangka ajakan jabat tangan tersebut dibalas dengan mengulurkan tangan kirinya, sementara ditangan kanannya bersiap keris pusaka akan menghunus Daendels. Daendels pun terkejut dengan sikap dan keberanian Sang Pangeran Kornel. Sikap Pangeran Kornel tersebut menjadi sebuah tanda dari perlawanan secara simbolik bahwa ia begitu marah karena rakyatnya diperlakukan dengan seenaknya, jika kalian berkunjung ke Museum Prabu Geusan Ulun terdapat ilustrasi diatas dengan media kanvas atau lukisan serta keris pusaka yang dipakai untuk menghunus Herman Williem Daendels disimpan dengan baik di Gedung Pusaka Museum Prabu Geusan Ulun yang diberi nama Keris Nagasasra II keris tersebut bersama ke-6 keris lainnya "dibersihkan" biasanya setiap Bulan Mulud.


Istilah Cadas Pangeran
Sebagian kalangan mengartikan watak keras atau "cadas" dari Pangeran Kusumadinata IX yang membela rakyat Sumedang namun ada pula yang mengartikan areal yang dilewati Jalan Raya Pos melewati Sumedang ini memiliki areal berbukit cadas. Bukit cadas tersebut diubah menjadi jalan yang mendatangkan penderitaan rakyat Sumedang yang memicu kemarahan Pangeran Kusumadinata IX. Rakyat banyak yang tewas dan sakit akibat pembuatan jalan raya pos tersebut.

Mitos atau Fakta seputar Jabat Tangan antara Pangeran Kornel dengan H.W. Daendels

Menurut pemerhati sejarah Universitas Indonesia, Djoko Marihandono dalam Film dokumenter Melawan Lupa : Sejarah dan Mitos Jalan Daendels (Metro TV)  kisah Pangeran Kornel dan Herman Williem Daendels diatas bertentangan dengan bukti-bukti sejarah. Jika melihat di Cadas Pangeran tepatnya bukit yang ditembus untuk jalan raya pos ada sebuah prasasti yang menyatakan bahwa bukit tersebut ditembus pada bulan Oktober 1811 dan baru berakhir pada 12 Maret 1812. Pada bulan-bulan tersebut tanah Jawa sudah tidak dikuasai oleh Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels sudah tidak bertugas lagi (1808-1811) hanya 3 tahun Daendels bertugas sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels sudah meninggalkan Hindia Belanda (Indonesia) pada 29 Juli 1811. 

Tetapi ada perbedaan yang signifikan dalam makalah Marihandono yang disampaikan pada seminar "Peringatan 70 tahun Prof. Dr. RZ Leirissa," 29 – 30 April 2008. Ia menulis bahwa bagaimana mungkin seorang Bupati yang baru berumur 20 tahun, berani menantang Daendels. Tampaknya, Marihandono mengira Pangeran Kornel lahir pada tahun 1791. Padahal jelas dalam buku Pangeran Kornel, Memed Sastrahadiprawira (yang merupakan sumber makalahnya), menuliskan bahwa tahun 1791 adalah tahun dilantiknya Pangeran Kornel. Pada buku Memed Sastrahadiprawira, saat Pangeran Kornel membela rakyatnya dari kekejaman Daendels beliau berusia sudah matang yaitu 40 tahun.

Mitos dan Fakta tentang Cadas Pangeran

Banyak mitos yang berkembang di Jalan Cadas Pangeran mulai dari batu cadas yang gagal dibelah, hingga tumbal trisula yang menyangga jalan penuh aral rintangan, ada pula cerita metafisika dimana hadir "penampakan" serta sejumlah kecelakaan yang dikaitkan dengan hal yang diluar nalar pikiran manusia. Mitos ular besar yang memotong jalan serta kemunculan wanita cantik yang suka "menggoda" pengguna kendaraan bermotor roda dua. Ribuan rakyat Sumedang dalam pembangunan Jalan Cadas Pangeran yang hanya sekitar 3 km. Konon menurut warga setempat pemakaman ribuan rakyat Sumedang yang tewas berada disekitar Jalan tersebut, menurut  Raden Mohammad Achmad Wiriaatmadja salah satu tokoh Sumedang yang juga ketua Yayasan Pangeran Sumedang sebagai pengelola Museum Prabu Geusan Ulun, pemakaman tersebut diantaranya ada dilereng belakang dekat kios-kios
yang berada di awal jalur Cadas Pangeran, adapula makam yang disebut sebagai "Raja" dimana pusara tersebut dengan nisan yang beraksara arab.

Di tahun 1980 ketika musim pembunuhan secara misterius hampir setiap pekan warga menemukan mayat dalam karung dikawasan yang dahulu terkenal sepi dan angker dengan banyaknya tikungan tajam dan jurang yang menganga sehingga tempat ini cocok untuk menghilangkan jejak.

Ada mitos setelah berfoto disini  sepasang laki-laki dan perempuan tiba-tiba sakit. 

Mitos atau fakta yang meliputi Jalan Cadas Pangeran hendaknya menjadikan pelajaran bagi kita semua, perlawanan simbolik Pangeran Kornel terhadap Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels ambil dari segi positifnya bahwa pemimpin harus membela rakyat kecil yang teraniaya. 

Thursday 17 May 2018

Gapura Wringin Lawang, Pintu Gerbang Majapahit?


Tujuan terakhir saya menjelajahi peninggalan Kerajaan Majapahit di kawasan Trowulan, Kab Mojokerto, Jawa Timur adalah berkunjung ke Gapura Wringin Lawang atau masyarakat mengatakan Candi Wringin Lawang. Dari Candi Brahu saya memesan Ojek Online menuju Gapura Wringin Lawang dengan jarak sekitar 4.3 km ditempuh sekitar 10 menit. 

Setelah tiba di Gapura Wringin Lawang saya menuju pos untuk mengisi daftar tamu, disini pengelola tidak mematok tarif seperti di candi-candi yang biasa di kawasan Trowulan, namun jika ingin memberi seikhlasnya saja. Perlu kalian ketahui dibeberapa Candi diberlakukan tiket masuk seharga Rp 3.000,- sangat terjangkau.

Waktu itu cuaca cukup terik disekitar Gapura Wringin Lawang maklum tengah hari saya pun melihat-lihat detail Gapura tersebut. Ouh iya untuk diketahui pada dasarnya Bangunan yang bergaya seperti candi bentar (terbelah dua) ini bukanlah candi tempat pemujaan namun ini merupakan suatu Gapura jadi saya menggunakan kata Gapura dibandingkan Candi. Tipe candi bentar yaitu tipe bangunan yang tidak mempunyai atap. Tipe seperti candi bentar biasanya berfungsi sebagai gerbang luar dari suatu kompleks candi atau bangunan yang lain. Gaya arsitektur seperti ini muncul pada masa Kerajaan Majapahit sekarang banyak ditemui dalam bangunan arsitektur di Pulau Bali. Gapura tersebut diduplikasi kebanyakan di jalan-jalan yang saya temui di Kabupaten Mojokerto dipasang diawal jalan.


Gapura Wringin Lawang ini terletak di Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan kuno ini telah dikenal sejak tahun 1816 dalam Buku History of Java I oleh Sir Stamford Raffles yang disebut dengan nama "Gapura Jati Pasar". Pada Tahun 1907 dalam tulisan  Knebel Gapura ini dikenal dengan "Gapura Wringin Lawang". Gapura ini dibuat dari batu bata, konon menurut cerita sesepuh disekitar gapura bahwa sebutan Wringin Lawang dikaitkan dengan adanya dua buah Pohon Wringin (Beringin) yang mengapit gapura tersebut sedangkan Lawang dapat diartikan sebagai Pintu.

Sebelum dipugar bangunan ini dalam keadaan rusak, dengan tinggi 15.50 meter, kaki dan tubuh gapura masih berdiri, namun bangunan disisi utara sebagian tubuhnya dan puncak gapura telah runtuh dan hilang hanya tersisa sekitar 9 meter, sedangkan bangunan sisi selatan relatif masih utuh hanya bagian kemuncak saja yang hilang. Struktur. Pada gapura tersebut terdapat lorong yang lebarnya sekitar 3.5 meter sedangkan disisi timur dan barat terdapat sisa-sisa anak tangga. Tampaknya anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga dan pada sisi sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisi struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling.


Dilihat fungsi Gapura Wringin Lawang menurut para ahli adalah berfungsi sebagai pintu gerbang memasuki kompleks keraton Kerajaan Majapahit, disamping itu tempat penyambutan suatu tamu penting yang berkunjung Kerajaan Majapahit dan sebagai jalur masuk menuju kediaman Maha Patih Gajah Mada. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.


Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya. Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan

Secara bentuk Gapura Wringin Lawang mempunyai filosofi menyerupai puncak gunung, ini merupakan perlambangan dari Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa. Kemudian Gapura yang seperti terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan). Pada gapura jikalau dilihat dari sisi utara, terdapat gapura kecil menempel pada bagian induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.


Usai sudah jelajah saya mengenal peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan di pagi saya berkunjung ke Pendopo Agung Trowulan kemudian ke Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu, Pusat Informasi Majapahit, Kolam Segaran, Patung Buddha tidur di Maha Vihara Majapahit, Candi Brahu terakhir Gapura Wringin Lawang. Kedepan masih di tahun 2018 saya merencanakan akan berkunjung ke 10 Candi yang berada diperbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sunday 13 May 2018

Candi Brahu, Candi Favorit di Trowulan



Setelah berkunjung ke Patung Buddha Tidur yang ada di Maha Vihara Majapahit saya melanjutkan perjalanan wisata saya menuju Candi Brahu sekitar 550 m kearah Utara dari Vihara, mau nyari ojek yang mangkal tapi saya tidak menemukan akhirnya ada seorang Bapak yang motornya sama persis dengan motor jadul saya Suzuki Crystal bertanya terlebih dahulu lokasi Candi Brahu ternyata bapak tersebut menawari saya untuk naik motornya karena memang searah dengan tujuannya. Setelah sampai di Candi Brahu ternyata hanya sekitar 550 m jaraknya tidak terlalu jauh sebenarnya, beruntung dapat tumpangan dengan mengucap rasa terima kasih dan saya kasih sejumlah rupiah karena saya malu jika ingin gratisan. 

Candi Brahu mulai dipugar tahun 1990 dan selesai tahun 1995 ini terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Nampak Candi Brahu sedang di bersihkan karena di dinding candi tumbuh seperti rerumputan atau mungkin tanaman perdu yang akan sangat perpengaruh pada struktur candi tersebut, biasanya batu candi brahu yang berwarna merah (batu bata) bisa cepat lapuk jika ditumbuhi berbagai macam tumbuhan seperti rumput. Suasana asri di sekitar Candi Brahu yang dibuat taman yang indah menambah kesan tersendiri, pengunjung pun tidak terlalu banyak hanya beberapa saja. 

Candi Brahu sedang dalam proses perawatan yaitu menghilangkan tanaman perdu yang tumbuh di dinding candi

Candi Brahu ini adalah candi favorit saya ketika berkunjung ke Mojokerto bentuknya yang mempunyai lekukan seperti pinggang manusia, pola yang sangat indah menurut saya berbeda dengan candi-candi kebanyakan di Trowulan, Mojokerto. Jika di photo di Candi Brahu sebaiknya agak jauh agar view keseluruhan candi bisa terlihat dan satu lagi taman yang unik menjadikan tempat ini pas untuk berswafoto, taman di Candi Brahu terawat dengan baik bentu taman dengan ornamen candi menjadikan nilai lebih tempat ini.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata "Wanaru" atau "Warahu" yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga "Alasantan" yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.

Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha. Walaupun tak satupun arca Buddha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu memang merupakan candi Buddha. Diperkirakan candi ini didirikan pada abad 15 M. 

Candi ini menghadap ke arah Barat, berdenah dasar persegi panjang seluas 18 x 22,5 m dan dengan tinggi yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 m. Bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.

Kaki candi dibangun bersusun dua. Kaki bagian bawah setinggi sekitar 2 m, mempunyai tangga di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi tubuh candi. Dari selasar pertama terdapat tangga setinggi sekitar 2 m menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat lubang semacam pintu pada ketinggian sekitar 2 m dari selasar kedua. Mungkin dahulu terdapat tangga naik dari selasar kedua menuju pintu di tubuh candi, namun saat ini tangga tersebut sudah tidak ada lagi, sehingga sulit bagi pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di tubuh candi. Konon ruangan di dalam cukup luas sehingga mampu menampung sekitar 30 orang. Di kaki, tubuh maupun atap candi tidak didapati hiasan berupa relief atau ukiran. Hanya saja susunan bata pada kaki, dinding tubuh dan atap candi diatur sedemikian rupa sehingga membentuk gambar berpola geometris maupun lekukan-lekukan yang indah ini yang menjadikan Candi Brahu menjadi favorit candi yang ada di Trowulan.


Disarikan dari Perpustakaan Nasional Indonesia 

Saya prihatin dengan aksi vandalisme yang lagi-lagi dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, terlihat goresan yang merusak batu bata padahal bangunan ini merupakan suatu bangunam bersejarah yang harus dilestarikan saya heran dengan tangan-tangan jahil mereka. Semoga mereka mengerti sangatlah sulit untuk mempertahankan suatu bangunan bersejarah dari masa ke masa agar tetap lestari.

Oke setelah berlama-lama menikmati keindahan Candi Brahu saya kembali menuju destinasi terakhir yaitu Gapura Wringin Lawang, sebelumnya saya sudah order terlebih dahulu Go Jek siapa tau ada yang ambil orderan saya.

Wednesday 9 May 2018

Patung Buddha di Maha Vihara Majapahit


Setelah berkunjung ke Kolam Segaran akhirnya saya tiba di Maha Vihara Majapahit tempat patung Buddha tidur. Suasana disekitar Maha Vihara Majapahit sangat tenang pengunjung cukup banyak yang berdatangan, dengan hanya membayar Rp 3.000,- saja. Lokasi Patung Buddha Tidur berada disebelah kiri dari Maha Vihara Majapahit. Saya tidak bisa berkunjung kedalam Vihara karena memang daerah tersebut aksesnya terbatas jadi saya hanya berkunjung untuk melihat Patung Buddha Tidur saja.

Menurut wikipedia Vihara sendiri dibangun dengan konsep budaya Jawa yaitu seperti rumah joglo. Terdapat tiga altar. Altar utama memiliki ruang yang menduplikasi Buddha Gautama yang ada pada Candi Borobudur yang dibuat oleh I Nyoman. Rumah Jawa ini menunjukkan ajaran Buddha. Empat soko guru melambangkan empat kesunyataan mulia, delapan tiang melambangkan delapan jalan utama, tangga lima melambangkan pancasila Buddhis, dan genteng tiga melambangkan Tiratana.

Sebelum adanya Patung Buddha Tidur
ada Maha Vihara Majapahit terlebih dahulu yang dibangun pada tahun 1987 dan tepat pada saat Buddha Jayanti tanggal 31 Desember 1989 diresmikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita dan Gubernur Jawa Timur. Tidak lama berserang dibangunlah Patung Buddha Tidur. Patung ini merupakan patung yang menggambarkan Buddha Gautama. Memiliki panjang 22 meter, lebar 6 meter dan tinggi 4,5 meter.
Dibuat menggunakan beton. Dibuat pada tahun 1993 oleh YM Viryanadi Maha Tera, pengrajin patung asal Trowulan. Patung ini tercatat dalam rekor MURI dan mendapat penghargaan pada Desember 2001. Selain itu, patung tersebut menjadi patung Buddha terbesar se-Indonesia dan terbesar ketiga se-Asia Tenggara.


Seluruh bagian patung dicat warna kuning keemasan, sedangkan di bagian bawah patung terdapat relief-relief yang menggambarkan kehidupan Buddha Gautama, hukum karmaphala dan hukum tumimbal lahir.
Posisi tubuh patung berbaring miring menghadap ke arah selatan dan kepala bersandar di atas bantal yang disangga menggunakan lengan kanannya.
Di dekat patung, terdapat kolam air yang ditumbuhi tanaman teratai yang menggambarkan laut dimana abu Sang Buddha Gautama larung. 

Hanya sekitar 20 menit saya berada di Maha Vihara Majapahit selanjutnya saya akan berkunjung ke Candi Brahu jaraknya sekitar 550 m dari Patung Budda Tidur bisa jalan kaki juga jika tidak lelah.


Lokasi : Kompleks Maha Vihara Majapahit Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Jombang - Mojokerto - Surabaya
Tiket Masuk : Rp 3.000,- (Maret 2018) .


Sunday 6 May 2018

Kolam Segaran, Kolam Kuno di Indonesia


Setelah kunjungan ke Pusat Informasi Majapahit atau biasa penduduk setempat menyebutnya Museum Trowulan saya berjalan sedikit untuk berkunjung ke Kolam Segaran. Cuaca cukup terik di kolam segaran beberapa orang sedang memancing, suasana sepi angin sepoi-sepoi dan riak-riak kecil air dikolam terbawa angin. Ketika saya berkunjung kolam sangag bersih dari tumbuhan seperti Enceng Gondok ataupun Ganggang, deretan batu bata yang tersusun dipinggiran kolam segaran menambah kesan "kuno" bersejarah.


Kolam segaran ini merupakan situs peninggalan Kerajaan Majapahit ini ditemukan pada tahun 1926. Pada tahun 1966 kolam segaran mengalami pemugaran sekedarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun.

Kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Nama Kolam Segaran berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti laut, mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut.
Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Kolam ini memiliki panjang 375 meter, lebar 175 meter, tebal tepian 1,6 meter dengan kedalaman 2,88 meter. Sebagai pembatas, kolam ini menggunakan konstruksi batu bata.


Dan uniknya, batu bata tersebut hanya ditata sedemikian rupa tanpa perekat dan hanya digosok–gosokkan satu sama lain. Saluran air masuk ke kolam ada di bagian tenggara. Sedangkan di sebelah selatan sudut timur laut dinding sisi luar terdapat 2 kolam kecil berhimpitan, sementara di sebelah barat sudut timur terdapat saluran air menembus sisi utara.

Di bagian tenggara terdapat saluran air masuk ke kolam dan saluran air keluar di bagian barat laut. Sumber air kolam berasal dari Balong Bunder dan Balong Dowo yang berada di sebelah selatan dan barat daya kolam.
Pintu masuknya terletak di sebelah barat, dengan bentuk tangga batu kuno. Selain dari dua sumber air tersebut, air dalam kolam Segaran juga berasal dari air hujan.

Kolam segaran ini pada masa Kerajaan Majapahit berfungsi sebagai waduk dan penampung air, yang merupakan wujud kemampuan Kerajaan Majapahit akan teknologi bangunan basah.
Selain itu, menurut cerita masyarakat sekitar Kolam Segaran sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya dan menjamu tamu-tamu penting kerajaan.

Kolam Segaran juga difungsikan sebagai tempat penggemblengan para kesatria laut Majapahit.
Disarikan dari Perpustakan Nasional Indonesia.

Menunggu abang Go Jek menjemput menuju destinasi ke 6 di hari kedua yaitu Patung Budha tidur di Maha Vihara Majapahit.

Tuesday 1 May 2018

Pusat Informasi Majapahit


Dari Gapura Bajang Ratu saya menggunakan Go Jek untuk menuju ke Pusat Informasi Majapahit sekitar 2.7 km jarak yang ditempuh hanya 10 menit. Sampai di lokasi banyak pengunjung datang terutama anak-anak yang sedang melakukan study tour saya pun berkunjung dengan mengisi buku tamu tanpa dipungut bayaran alias gratis sampai didalam koleksi mengenai Kerajaan Majapahit tersaji sayang saya tidak bisa mengabadikan karena ada aturan dilarang memotret walaupun begitu saya sedikit mencuri momen untuk foto walaupun memakai kamera telepon genggam.


Sejarah Berdirinya Pusat Informasi Majapahit

Pada tanggal 24 April 1924, R.A.A. Kromodjojo Adinegoro, salah seorang Bupati Mojokerto bekerja sama dengan Ir. Henri Maclaine Pont, seorang arsitek Belanda mendirikan Oudheidkundige Vereeniging Majapahit (OVM) adalah suatu perkumpulan yang bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. OVM menempati sebuah rumah di Situs Trowulan yang terletak di jalan raya jurusan Mojokerto-Jombang Km 13 untuk menyimpan artefak-artefak yang diperoleh baik melalui penggalian arkeologis, survei maupun penemuan secara tak sengaja. Mengingat banyaknya artefak yang layak untuk dipamerkan maka direncanakan untuk membangun sebuah museum yang terealisasi pada tahun 1926 dan dikenal dengan nama Museum Trowulan.

Pada tahun 1942, museum ditutup untuk umum karena Henri Maclaine Pont ditawan oleh Jepang. Sejak itu museum berpindah-pindah tangan dan yang terakhir dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur. Tugas kantor tersebut tidak hanya melaksanakan perlindungan terhadap benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit saja, tetapi seluruh peninggalan kuno di Jawa Timur. Oleh karena itu koleksinya semakin bertambah banyak. Untuk mengatasi hal tersebut museum dipindahkan ke tempat yang lebih luas, berjarak sekitar 2 kilometer dari tempat semula namun masih di Situs Trowulan. Museum baru tersebut sesuai dengan struktur organisasinya disebut sebagai Balai Penyelamatan Arca, namun masyarakat umum tetap mengenalnya sebagai Museum Trowulan.
Pada tahun 1999 koleksi prasasti peninggalan R.A.A. Kromodjojo Adinegoro dipindahkan dari Gedung Arca Mojokerto ke Museum Trowulan, sehingga koleksi Museum Trowulan semakin lengkap.


Koleksi di Pusat Informasi Majapahit yang diipamerkan antara lain : Koleksi tanah liat (terakota)
Koleksi ini mencakup terakota manusia (figurin), alat-alat produksi, alat-alat rumah tangga, dan arsitektur. Kemudian koleksi keramik seperti guci, teko, piring, mangkok, sendok, dan vas bunga berasal dari Negara Cina, Thailand, dan Vietnam. Dan Koleksi logam antara lain uang kuno, alat-alat seperti bokor, pedupaan, lampu, guci, cermin, genta, dan alat musik. Yang paling banyak menurut saya adalah koleksi berbahan batu seperti koleksi miniatur dan komponen candi, koleksi arca, koleksi relief, dan koleksi prasasti. Selain itu juga terdapat koleksi lain yang berbahan batu yaitu alat-alat dan fosil binatang. Koleksi berbahan batu tersebar dari dalam bangunan hingga ke halaman-halaman yang berada di dibelakang bangunan utama


Selain itu disebelan kiri dari bangunan Pusat Informasi Majapahit terdapat Situs Pemukiman, situs ini memperlihatkan sisa bangunan pemukiman yang sangat menarik. Bangunan yang terbuat dari bahan batu bata ini berada di ketinggian 41,49 meter diatas permukaan laut.



Denah bangunan segi empat berukuran 5,2 m dan lebar 2,15 m. Kapasitas ruang ini relatif sempit bila dijadikan tempat tinggal, paling banyak ditempati 2-3 orang seperti dari 3 undakan, menempel disisi utara batur. Bangunan ini mempunyai halaman disisi utara dan timur, halaman-halaman ini posisinua lebih rendah 50 cm dari batur bangunan. Halaman utara diperkeras dengan susunan batu kerakal (andesit kecil bulat) yang dalam keluasan tertentu di bingkai segi empat dengan bata-bata diletakan secara horizontal. Susunan gabungan kerakal dan bata ini menunjukan suatu pola perkerasan yang khas. Pola halaman semacam ini dijumpai pula pada penggalian di Situs Trowulan lainnya. Luas halaman utara yang terungkap berukuran panjang 6 meter lebar 4 meter namun demikian halaman ini dapat lebih luas lagi karena halaman utara belum digali lebih luas. 

Perkerasan semacam ini menjadikan kenyamanan bagi penghuni rumah, karena halaman tidak becek dimusim hujan dan tidak berdebu pada musim kemarau. Untuk menghindar genangan air, halaman sisi utara dilengkapi dua jalur selokan terbuka yang mengarah ke timur barat dan selatan utara. Keduanya berpotongan dengan selokan yang mengelilingi bangunan. Lebar selokan 16 cm dan dalamnya 8 cm, dinding dan bagian dasarnya dibatasi oleh bata. Berdasarkan data arkeologis tersebut diatas, maka dapat direkonstruksikan bentuk bangunan hunian yang ada disitus ini. Dalam proses rekonstruksi arkeologis dipertimbangkan pula data-data temuan lepas yang ditemukan disitus-situs ekskavasi lainnya di Trowulan serta diperkuat analogi data entografis

Source: Papan Informasi Pusat Informasi Majapahit
Setelah selesai berkeliling saya melanjutkan menuju Kolam Segaran yang tak jauh dari Pusat Informasi Majapahit