Thursday 17 May 2018

Gapura Wringin Lawang, Pintu Gerbang Majapahit?


Tujuan terakhir saya menjelajahi peninggalan Kerajaan Majapahit di kawasan Trowulan, Kab Mojokerto, Jawa Timur adalah berkunjung ke Gapura Wringin Lawang atau masyarakat mengatakan Candi Wringin Lawang. Dari Candi Brahu saya memesan Ojek Online menuju Gapura Wringin Lawang dengan jarak sekitar 4.3 km ditempuh sekitar 10 menit. 

Setelah tiba di Gapura Wringin Lawang saya menuju pos untuk mengisi daftar tamu, disini pengelola tidak mematok tarif seperti di candi-candi yang biasa di kawasan Trowulan, namun jika ingin memberi seikhlasnya saja. Perlu kalian ketahui dibeberapa Candi diberlakukan tiket masuk seharga Rp 3.000,- sangat terjangkau.

Waktu itu cuaca cukup terik disekitar Gapura Wringin Lawang maklum tengah hari saya pun melihat-lihat detail Gapura tersebut. Ouh iya untuk diketahui pada dasarnya Bangunan yang bergaya seperti candi bentar (terbelah dua) ini bukanlah candi tempat pemujaan namun ini merupakan suatu Gapura jadi saya menggunakan kata Gapura dibandingkan Candi. Tipe candi bentar yaitu tipe bangunan yang tidak mempunyai atap. Tipe seperti candi bentar biasanya berfungsi sebagai gerbang luar dari suatu kompleks candi atau bangunan yang lain. Gaya arsitektur seperti ini muncul pada masa Kerajaan Majapahit sekarang banyak ditemui dalam bangunan arsitektur di Pulau Bali. Gapura tersebut diduplikasi kebanyakan di jalan-jalan yang saya temui di Kabupaten Mojokerto dipasang diawal jalan.


Gapura Wringin Lawang ini terletak di Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan kuno ini telah dikenal sejak tahun 1816 dalam Buku History of Java I oleh Sir Stamford Raffles yang disebut dengan nama "Gapura Jati Pasar". Pada Tahun 1907 dalam tulisan  Knebel Gapura ini dikenal dengan "Gapura Wringin Lawang". Gapura ini dibuat dari batu bata, konon menurut cerita sesepuh disekitar gapura bahwa sebutan Wringin Lawang dikaitkan dengan adanya dua buah Pohon Wringin (Beringin) yang mengapit gapura tersebut sedangkan Lawang dapat diartikan sebagai Pintu.

Sebelum dipugar bangunan ini dalam keadaan rusak, dengan tinggi 15.50 meter, kaki dan tubuh gapura masih berdiri, namun bangunan disisi utara sebagian tubuhnya dan puncak gapura telah runtuh dan hilang hanya tersisa sekitar 9 meter, sedangkan bangunan sisi selatan relatif masih utuh hanya bagian kemuncak saja yang hilang. Struktur. Pada gapura tersebut terdapat lorong yang lebarnya sekitar 3.5 meter sedangkan disisi timur dan barat terdapat sisa-sisa anak tangga. Tampaknya anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga dan pada sisi sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisi struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling.


Dilihat fungsi Gapura Wringin Lawang menurut para ahli adalah berfungsi sebagai pintu gerbang memasuki kompleks keraton Kerajaan Majapahit, disamping itu tempat penyambutan suatu tamu penting yang berkunjung Kerajaan Majapahit dan sebagai jalur masuk menuju kediaman Maha Patih Gajah Mada. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.


Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya. Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan

Secara bentuk Gapura Wringin Lawang mempunyai filosofi menyerupai puncak gunung, ini merupakan perlambangan dari Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa. Kemudian Gapura yang seperti terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan). Pada gapura jikalau dilihat dari sisi utara, terdapat gapura kecil menempel pada bagian induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.


Usai sudah jelajah saya mengenal peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan di pagi saya berkunjung ke Pendopo Agung Trowulan kemudian ke Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu, Pusat Informasi Majapahit, Kolam Segaran, Patung Buddha tidur di Maha Vihara Majapahit, Candi Brahu terakhir Gapura Wringin Lawang. Kedepan masih di tahun 2018 saya merencanakan akan berkunjung ke 10 Candi yang berada diperbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment