Monday 26 February 2018

Makam Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar


Selain Makam Bupati Bandung R.A A. Wiranatakusumah II di Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung adapula Makam Bupati Bandung lainnya di Jalan Karang Anyar sebelah barat dari Jalan Dalem Kaum. Disini tempat peristirahatan terakhir Bupati Bandung, Pahlawan Nasional Dewi Sartika dan Tepat di atas bangunan tersebut ada tulisan yang berbunyi, “Makam Para Boepati Bandoeng”.
Di sebuah pilar bangunan tersebut ada plakat yang bertuliskan “Januari 2000 dipugar ku Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten Bandung. Bandung 5 Januari 2000, Pengurus Yayasan KSTB.
Di dalam bangunan ini terdapat cukup banyak makam petinggi Bandung, diantaranya yang saya lihat adalah:


R. Adipati Wiranatakoesoemah III dalam (Karang Anyar)


R.A.A. Wiranatakoesoemah IV (Dalam Bintang)


R. Adipati Koesoemahdilaga (Dalam Marhum)


R.H.A.A. Wiranatakusumah V Bupati Bandung ke XI yang lahir tanggal 23 November 1888 dan wafat 22 Januari 1965


R. Adjeng Legan Radjapermas, Ibu dari R. Dewi Sartika

R. Aria Soeriakartaadiningrat Patih Cicalengka

R. Ajoe Sengkon Sangkaningrat Garwa Padmi R.A.A Martanegara Bupati Bandung

R. Ajoe Ratnamirah adalah Garwa Padmi Dalam Bintang

R Rangga Wiratadiningrat wedana Tjisondari.

R. Demang Soeriadjanagara (Aom Sutra)

R. Adjeng Galoeh adalah Garwa dari Wedana Cimahi putri dari Dalam Bintang.

R. Ajoe Emas Radjaningrat
Garwa Padmi I Kandjeng Djenon, Bupati Garut.

Adapula makam disekitar bangunan utama yang cukup banyak salah satu nya Makam Pahlawan Nasional R. Dewi Sartika.

Berikut ini daftar Bupati Bandung dari masa ke masa hingga sekarang:

  1. Tumenggung Wiraangunangun (Ki Astamanggala) tahun 1632-1681 Masa Pemerintahan Kerajaan MataramT
  2. Tumenggung Ardikusumah tahun 1681-1704 Bupati pertama masa Pemerintahan VOCT
  3. Tumenggung Anggadireja I tahun 1704-1747
  4. Tumenggung Anggadireja II tahun 1747-1763.
  5. R. Anggadireja III (R. Wiranatakusumah I) tahun 1769-1794.
  6. R.A Wiranatakusumah II 1794-1829 Ibu kota dipindah dari Karapyak ke Kota Bandung.
  7. R. Wiranatakusumah III tahun 1829-1846.
  8. R. Wiranatakusumah IV tahun 1846-1874
  9. R.A Kusumahdilaga tahun 1874-1893
  10. R.A.A Martanegara tahun 1893-1918.
  11. R.H.A.A Wiranatakusumah V tahun 1920-1931 Periode Pertama. 
  12. R.T. Hasan Sumadipraja tahun 1931-1935
  13. R.H.A.A Wiranatakusumah V tahun 1935-1945 Periode Kedua.
  14. R.T.E Suriaputra tahun 1945-1947R
  15. R.T.M Wiranatakusumah VI tahun 1947-1957
  16. R. Apandi Wiradiputra tahun 1956-1957 
  17. R. Godjali Gandawidura tahun 1957-1960 (Bupati sementara)
  18. R. Memed Ardiwilaga, B.A.tahun 1960-1967
  19. Masturi tahun 1967-1969
  20. R.H Lily Sumantri tahun 1969-1975.
  21. Sani Lupias Abdurachman tahun 1980-1985 
  22. Cherman Effendi tahun 1985-1990 
  23. H.U. Hatta Djatipermana, S.Ip tahun 1990-2000 
  24. H. Obar Sobarna, S.Ip tahun 2000-2010
  25. H. Dadang M. Nasser tahun 2010-Sekarang


Kunjungan tanggal 8 Februari 2018
Garwa adalah Istri
Garwa Padmi adalah Permaisuri
Wedana adalah Pembantu pimpinan wilayah Daerah (kabupaten), membawahkan beberapa camat atau bisa saja disebut pembantu bupati.
Patih adalah jabatan Perdana Menteri pada kerajaan Nusantara kuno.

Thursday 22 February 2018

Makam Dalem Kaum Wiranatakusumah II

Matahari mulai meninggi ketika saya berkunjung ke Jalan Dalem Kaum, sebuah jalan yang dahulu penuh dengan pedagang kaki lima, setelah Walikota Bandung Ridwan Kamil merevitalisasi kawasan Jalan Dalem Kaum menjadikan kawasan ini bebas dari Pedagang Kaki Lima walaupun tidak 100% bebas masih ada beberapa pedagang yang berjualan di trotoar jalan dari jajanan sampai VCD/DVD bajakan yang memang sudah terkenal sejak dahulu.

Tidak jauh dari seberang Plaza Parahyangan terdapat jalan kecil atau gang Di gerbang gang tersebut terdapat tulisan yang berbunyi Situs Makam Rd. Wiranatakoesoemah II (Dalem Kaum) Bupati Bandung VI (1794-1829) “Pendiri Kota Bandung”
Makam itu jaraknya hanya beberapa meter saja dari mulut gang. Setelah beberapa langkah dari mulut gang, tak jauh dari plang Rumah Makan Khas Sunda Ampera. Bentengnya berwarna putih plang tentang Situs pun terdapat diluar makam.

Suasananya sangat berbeda dengan yang terjadi di Jalan Dalem Kaum. Meski masih terdengar pelan suara bising dari sana suasana makam tersebut terasa sepi. Deretan kuburan di Kompleks tersebut menambah nuansa sunyi di sana. Saya hanya bertemu dengan dua orang penjaga makam sepertinya yang sedang mencabuti rumput dan membersihkan lantai.

Permakaman ini tidak terlalu luasnya terdapat makam R.A.A. Wiranatakusumah II. Wiranatakusumah merupakan Bupati Kabupaten Bandung ke-6. Ia pendiri dan peletak dasar pembangunan kota Bandung. Ia berhasil mengubah hutan dan rawa menjadi pusat kota Bandung.


R.A.A. Wiranatakusumah II mendapatkan julukan Dalem Kaum karena dimakamkan di sana. Dalem merupakan nama penghormatan untuk seorang bupati saat ini.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pertama Herman Willem Daendels (1808-1811), yang membangun Jalan Raya Pos (Postweg) antara Anyer – Panarukan. Jalan sepanjang 1.000 kilometer itu dibangun demi kelancaran Daendels menjalankan tugasnya di Jawa. Daendels meminta Bupati saat itu Rd. Wiranatakusumah II untuk mendirikan kota di pinggir Jalan De Groote Postweg (Jalan Raya Pos) Jl. Asia Afrika sekarang. Tahap awal pendirian kota dibangun sebuah komplek Alun-alun yang terdiri dari pendopo, bale bandung dan pasar yang berfungsi sebagai pusat kota. Sejak itu, Wiranatakusumah II yang dijuluki Dalem Kaum I dikenal sebagai perintis pembangunan gedung dan dijuluki Bapak Pendiri Kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan Surat Keputusan Bupati Bandung tanggal 25 September 1810.

Surat Keputusan tanggal 25 Mei 1810 untuk para Bupati di Tatar Jawa, agar memindahkan pusat pemerintahan atau Ibu Kota Kabupaten Bandung ke pinggir jalan raya. Saat itu kantor Kabupaten Bandung berada di Karapyak atau Dayeuhkolot.

Bupati Bandung keenam yang menjabat sejak 1794 itu meninggal tahun 1829 dan dimakamkan di belakang Mesjid Kaum (Mesjid Agung sekarang). Untuk itu kawasan tersebut dikenal dengan nama Jl. Dalem Kaum.

Di Alun-alun Bandung sebelah barat dibangun mesjid besar dengan arsitektur Jawa berupa menara bertingkat dan ujungnya runcing. Masjid ini berfungsi juga untuk tempat menikahkan orang-orang di depan penghulu. Hingga terkenallah sebutan bagi orang yang akan menikah dengan sebutan “Ka Bale Nyungcung”. Masjid Kaum awalnya dibuat dari bahan kayu beratap rumbia dan daun ijuk. Pada tahun 1850 dirombak total dengan tembok dan genting.

Selain R.A.A. Wiranatakusumah II disini juga terdapat makam istri R.A.A Wiranatakusumah II Nyi Rd Ayu Kendran, lalu Bupati Bandung ke-15 Rd Tumenggung Male Wiranatakusumah (1948-1956), Rd. Mochamad Soleh Hoofd atau sebagai penghulu di Kabupaten Bandung. Makam-makam tersebut berada dalam satu atap. Di luar tempat makam-makam itu masih banyak terdapat makam-makam yang ada disekeliling nya


Makam Nyi Rd Ayu Kendran istri dari R.A.A Wiranatakusumah II


Makam Rd Tumenggung Male Wiranatakusumah


Makam Rd. Mochamad Soleh

Monday 19 February 2018

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat


Sepi, hening, tidak banyak orang itulah yang saya rasakan pertama kali ketika berkunjung ke Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat.

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat terletak di Jalan Dipati Ukur No. 48, Kota Bandung. Lokasinya berhadapan dengan Gedung Sate dan di depan Graha Sanusi, Universitas Padjadjaran (Unpad), Kota Bandung. Monumen berdiri di atas tanah seluas ± 72.040 m² dan luas bangunan ± 2.143 m². serta model bangunannya, berbentuk bambu runcing yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Monumen diresmikan penggunaanya oleh Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana pada tanggal 23 Agustus 1995.

Sayang ketika saya mengunjungi Monumen tersebut, museum yang saya akan kunjungi tidak dibuka entah kenapa, petugas pun terlihat kosong hanya security saja yang berjaga. Padahal ketika saya berkunjung pada hari kamis, 8 Februari 2018 sulit untuk menanyakan informasi mengenai museum. Sangat sepi pengunjung alhasil saya hanya mengintari Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Di sekitar dinding-dinding monumen terdapat relief, relief ini menceritakan sejarah perjuangan rakyat Jawa Barat mulai dari masa kerajaan, masa pergerakan, masa kemerdekaan, dan masa mempertahankan kemerdekaan dalam melawan penjajahan baik Belanda, Inggris dan Jepang.





Selain itu Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat sering dijadikan tempat untuk event-event tertentu

Cukup kecewa ketika datang kesana melihat tidak dibukanya museum malah ketika saya bertanya ke petugas keamanan terlihat kebingungan.

Bangunan megah ini seharusnya lebih diberdayakan agar bisa bermanfaat bagi pengunjung terutama mengedukasi, untuk bahan museum saya pikir Jawa Barat tidak akan kehilangan informasi sejarah, banyak sekali peristiwa-peristiwa bersejarah yang bisa diexpose dan dikenalkan. Informasi sejarah perjuangan rakyat Jawa Barat. Tinggal kemauan dari pihak terkait untuk "menghidupkan" kembali Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat terutama dari segi museum serta aktivitas yang kreatif.


Tampak dari kejauhan Gedung Sate.

Thursday 15 February 2018

Tragedi DT-947 di Padalarang



Monumen Padalarang ini dibangun untuk mengenang tragedi jatuhnya pesawat KLM DC-3 bernomor penerbangan DT-947 di dekat Padalarang pada 10 Februari 1948. Monumen berada di Taman Makam Kehormatan Belanda, Ereveld Pandu.
Pesawat berpropeler Dakota DC-3 dengan kode registrasi PK-REA lepas landas di Pangkalan Udara Andir (Sekarang Bandara Husein Sastranegara) Bandung. Penerbangan pesawat milik Koninklijke Luchtvaart Maatschappij dengan tujuan Lapangan Udara Kemayoran (Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma), Batavia tanggal 10 Februari 1948.
Pesawat Dakota DT-947 yang mengangkut 4 awak dan 15 penumpang dan 5 Nama yang diabadikan di Monumen Padalarang adalah:
Leendert Paaij
Lahir pada tanggal 7 April 1903 di Rotterdam Meninggal pada tanggal 10 Februari 1948 (44 tahun) di Padalarang. Profesi Tentara KNIL
Elisabeth Everts
Lahir pada tanggal 30 Agustus 1920 di Den Haag Meninggal pada tanggal 10 Februari 1948 (27 tahun) di Padalarang ia seorang Pianis
Johann Leonardus Gütlich
Lahir pada tanggal 3 Agustus 1912 di Rotterdam Meninggal pada tanggal 10 Februari 1948 (35 tahun) di Padalarang Profesi Musikus
Francien Geertruida Maria Gerrese
Lahir pada tanggal 19 Januari 1902 di Vlissingen Meninggal pada tanggal 10 Februari 1948 (46 tahun) di Padalarang Profesi Declamatrice
Rudolf Broer van Dijk
Lahir pada tanggal 22 Mei 1926 di Den Haag Meninggal pada tanggal 10 Februari 1948 (21 tahun) di Padalarang Profesi pemain biola
15 tentara dan 4 anggota ansambel musik Niwin Johan Gütlich tewas: pengamat Pilot Letnan Pertama Arnold Van der Veen (kapten dan pilot pertama), Pilot Sersan mil T.H.M. (Theo) Duffels (co-pilot), Sersan Utama P.F. (Paul) Breedveldt (operator radio telegraf), Sersan Mayor B.H. (Bernard) Gerdes (mekanik pesawat terbang) dan penumpang: Letnan Kolonel pilot Observer Cees Terluin (komandan Komando Penerbangan Regional Jawa), Mayor Jan Pieter Alberding (Kepala Military Aviation Military KNIL) dan petugas kesehatan kelas 2 Pieter van Deursen (skuadron LSK 322 Spitfire), cadangan Letnan Pertama B.J.M. (Bernard) van Baaren (17 Comp. AAT KL), Pilih Letnan kedua Anton Frans Graas (17 AAT KL), Sersan Mayor Jan Hendrik Bunschoten (2 AAT KL), Sersan F. (Prancis) van Vroenhoven (1-11 R.I. KL), Kopral A.J. (Arie) Kraan (5-5 R.I. KL), tentara G. (Gerrit) Oostenveld (tentara 1 9.R.I), tentara kelas 1 H.G. (Hans) Nieuwhof (sdt 1 Staf Brigade KNIL)
Tiga penumpang dari mereka merupakan Pemusik Classic asal Belanda yang usai berpentas di Bandung. Para pemusik itu berada di Indonesia selama empat bulan, sejak Oktober 1947, dalam misi pentas untuk menghibur para serdadu KNIL. Sebuah organisasi di Belanda yang berkomitmen memberikan kesejahteraan kepada serdadu—NIWIN (Nationale Inspanning Welzijnsverzorging Indië)—telah memberi dukungan kepada para pemusik itu untuk berpentas di Bandung.
Pada hari Selasa siang, 10 Februari 1948, sekitar pukul 4 sore, Dakota DT-947 naik dari Lapangan Udara Andir, Bandung ke Lapangan Udara Kemayoran. Akibat kondisi cuaca buruk, pesawat tersebut jatuh pada 16:05 jam di perbukitan dekat Padalarang, semua awak dan penumpangnya tewas.
Saat itu cuaca dilaporkan hujan. Hemli, seorang warga setempat yang bertugas sebagai pengatur sinyal jalur kereta api Bandung-Batavia mengatakan bahwa dia melihat pesawat terbang rendah. Bagian kokpitnya terbakar dan jatuh.
Rencananya dua hari kemudian rombongan pemusik itu berangkat terbang untuk pulang ke kampung halamannya dari Lapangan Udara Kemayoran ke Schiphol, Amsterdam. Namun, namun naas dua hari kemudian mereka dimakamkan di Parkweg, Bandung, 12 Februari 1948. Baru setelah dua tahun kemudian, 21 Maret 1950, jasad mereka dimakamkan kembali di Ereveld Pandu, Bandung. Permakaman tersebut diresmikan pada Maret 1948 sebagai taman makam kehormatan Belanda, yang hingga hari ini dikelola oleh Yayasan Oorlogsgravenstichting yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Di Ereveld Pandu pula nama ketiga pemusik itu diabadikan dalam Monumen Padalarang, bersama dua penumpang lainnya Francien Geertruida Maria Gerrese dan seorang sersan KNIL Leendert Paaij. Nama dan tempat tanggal lahir masing-masing tertera dalam lima pilar bulat yang berjajar menopang seruas palang mendatar.
Di depan monumen pilar itu terdapat sebuah monumen berbentuk buku yang menerakan kalimat ”Ter nagedachtenis aan de leden van een gezelschap die ter ontspanning van de troepen te velde voor – stellingen verzorgden. Zij kwamen op 10 februari 1948 te Padalarang met anderen bij een vliegongeval om het leven in een toestel van de Militaire Luchvaart van het KNIL.”
Kalimat ini artinya: "Untuk mengenang anggota perkumpulan yang menghibur pasukan—sebuah ungkapan kepedulian. Mereka tiba di Padalarang pada 10 Februari 1948 dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang bersama unit Angkatan Udara KNIL".
Hanya kelima nama tersebut yang dimakamkan di Bandung. Selebihnya dimakamkan di Ereveld Menteng Pulo, Jakarta.



Source: militaire luchtvaart nederland
Penyebab Jatuhnya pesawat Dakota DT-947
Ikhtisar lokasi kecelakaan Dakota DT-947 setelah itu 5 menit setelah take off di cuaca buruk mungkin setelah itu Kegagalan 1 mesin setelah belokan tajam jatuh di Padalarang, Dakota jatuh di daerah antara Tjilame dan Sasaksaat di sebelah utara jalur kereta api, dekat jembatan kereta api besar ketiga setelah Tjilame. Setelah tragedi dengan DT-947 terbentuk topik rumor yang terus-menerus dan berbagai teori konspirasi hingga dokumen kasus korupsi telah membelit tubuh militer Belanda. Tampaknya petugas penyelidik yang malang itu tengah menyingkap kasus korupsi beberapa opsir Belanda. Mereka menyelundupkan barang dan bekerja sama dengan mafia Tionghoa.

Tuesday 13 February 2018

Ereveld Pandu Tempat Peristirahatan Terakhir Tentara KNIL


Setelah mendapat izin dari pihak Yayasan Oorlogsgravenstichting maka saya berkunjung ke Ereveld Pandu pada Hari Kamis 8 Februari 2018 sekitar jam 09:00 saya bertemu dengan Bapak Purwadi selaku Pengelola dari Ereveld Pandu, Bandung untuk mendampingi saya untuk berkeliling Taman Makam Kehormatan Belanda ini.

Masuk ke Ereveld Pandu kita disuguhi oleh Monumen dengan 8 Tiang dengan tulisan "Opgericht Ter Gedachtenis Aan Hen Die Vielen Als Offer In De Strij Om Vrijheid En Recht" yang artinya kurang lebih "Didirikan untuk mengenang orang-orang yang telah menjadi korban dalam perjuangan untuk perdamaian dan keadilan". Kemudian disebelah kiri terdapat sebuah tombe "De Onbekende Soldaat" artinya "tentara yang tidak dikenal" serta dikanan "De Onbekende Burger" artinya "Warga yang tak dikenal" disebelah kiri dari Monumen ini berdiri tiang bendera jika dihari tertentu dikibarkan Bendera Negara Belanda namun kesehariannya di kibarkan bendera Oorlogsgravenstichting.


Taman Makam kehormatan Belanda salah satu dari dua ereveld yang berlokasi di Jawa Barat (Bandung dan Cimahi), sebagian besar makam adalah tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang tewas dalam perang melawan Jepang, namun juga banyak warga sipil dari kamp konsentrasi disekitar Bandung yang tewas dan dimakamkan di Ereveld ini serta ada pula pindahan dari Ereveld lain. Di masa-masa sulit setelah kapitulasi Jepang pada tahun 1945, banyak korban tewas, baik warga sipil maupun tentara, termasuk Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Ada sekitar 4.000 makam yang ada di Ereveld Pandu, Bandung dengan berbagai latar belakang. Mereka dikirim sebagai secara sukarelawan untuk berperang atau wajib militer dengan misi menjaga ketertiban dan kedamaian. Hamparan nisan baik pria, wanita, kristen, budha, yahudi menyatu disini tertata dengan rapi, simetris jauh dari kesan angker


Banyak pula makam serdadu KNIL yang berasal dari Indonesia dan beragama Islam terlihat dari Nisan yang terpasang dengan ornamen berbentuk seperti tiga bulatan tepat diatas nisan dan posisi nisannya berbeda mengarah kiblat


Ada pula makam anak-anak yang ditandai dengan Nisan yang agak kecil dari Nisan kebanyakan



Monumen Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) di Ereveld Pandu yang menampilkan serdadu dengan klewang dan carabin. Didisain oleh Therese de Groot-Haider pada 15 Agustus 1991. Monumen ini merupakan replika dari monumen serupa di Koninklijk Tehuis voor Oud-militairen "Bronbeek Museum" yang dibawa langsung dari Belanda.


Menelusuri Ereveld Pandu saya berjalan ke arah utara masih terdapat Tiang Bendera yang berkibar pada saat itu adalah bendera Oorlogsgravenstichting dengan hiasan 12 zodiak, di sekitar lantai tiang bendera menambah kesan artistik. 4 dari 12 zodiak tersebut merupakan simbol agama terbesar didunia termasuk Agama Islam


Kemudian di sekelilingnya terdapat monumen 1-8 Maret 1942 "Tjiaterstelling Soebang, Kalidjati" voor de niet geidentificeerde soldaten "untuk yang tentara tak dikenal"


Pada plakat yang mengelilingi berisi nama-nama yang tewas pada peristiwa Tjiaterstellingen dan Soebang dan Kalidjati. Saat itu KNIL dipukul mundur oleh tentara Jepang dengan brutal dari arah utara Pulau Jawa sekitar Ciater, Subang dan Kalijati menuju Bandung dan Cimahi sebagai basis/markas Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) .

Dari Plakat Tjiaterstelling saya berjalan menuju arah barat ada sebuah Monumen, Monumen Padalarang dibangun untuk mengenang tragedi jatuhnya pesawat KLM DC-3 bernomor penerbangan DT-947 di dekat Padalarang pada 10 Februari 1948 menewaskan orang yang merupakan Pemusik Klasik yang sengaja didatangkan dari Belanda untuk menghibur Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) naas ketika akan lepas landas tanpa sebab yang pasti pesawat jatuh disekitar Padalarang. Ada yang mengatakan pesawat jatuh di antara Tjilame dan Sasaksaat ada pula yang mengatakan jatuh didekat Ciburuy.


Ketika saya bertanya kepada Bapak Purwadi selaku pengelola Ereveld Pandu ini siapakah tokoh yang terkenal yang dimakamkan disini Let Gen. G.J. Berenschot.
Letnan Jenderal Gerardus Johannes Berenschot yang lahir di Solok, 24 Juli 1887 meninggal di Batavia, 13 Oktober 1941 (54 tahun) ialah letnan jenderal dan komandan KNIL antara tahun 1939-1941. Di Hindia Belanda, ia adalah satu-satunya komandan KNIL yang memiliki darah asli Indonesia.


Sekilas tentang Bapak Purwadi pengelola Ereveld Pandu, beliau udah bekerja dibawah naungan Yayasan Oorlogsgravenstichting hampir 40 tahun awalnya beliau mengelola Ereveld Leuwigajah, Cimahi dan sekarang mengelola Ereveld Pandu, Bandung. Bahkan anak beliau pun sekarang menjadi pengelola Ereveld Ancol, Jakarta. 40 tahun bukan waktu sebentar untuk bekerja dengan sepenuh hati menjaga, merawat Taman Makam Kehormatan Belanda. Awal bertemu dengan beliau saya seperti sudah familiar ternyata memang kita sama-sama tinggal Cimahi. Setelah berkeliling Ereveld Pandu, kita berbincang di sebuah pendopo sekaligus mengisi daftar tamu. Pengalaman Beliau sebagai senior sangatlah dalam sudah 6-7 pergantian Direktur Yayasan Oorlogsgravenstichting yang diketahui beliau. Saya mengucapkan terima kasih juga kepada Ibu Ita selaku Sekretaris Direktur Yayasan Oorlogsgravenstichting atas izin berkunjung kedua Ereveld di Cimahi dan Bandung.


Jika kalian ingin berkunjung ke Ereveld Pandu atau pun Ereveld yang ada di Pulau Jawa sebaiknya meminta izin terlebih dahulu kepada Yayasan Oorlogsgravenstichting yang ada di Jakarta nanti pihak Jakarta akan menghubungi Pengelola Ereveld setempat untuk melakukan pendampingan. Perlu diingat ini Makam Kehormatan Belanda agar para pengunjung bisa menjaga sikap, ketertiban dan kebersihan.

Wednesday 7 February 2018

Gua Jepang di THR Ir. H. Djuanda


Sekitar 300 meter dari Pintu Masuk Utama Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda terdapat Gua Jepang menelusuri jalan setapak dengan hijaunya pepohonan walaupun sudah tengah hari namun masih sejuk cenderung dingin.


Gua jepang di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda adalah salah satu dari puluhan Gua yang ada di Indonesia dan umumnya dibuat pada tahun 1942-1945
Ketika masa pendudukan Jepang,Kota Bandun merupakan markas salah satu dari 3 kantor Besar (Bunsho) di Pulau Jawa.
Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) atau tentara Hindia-Belanda dan satuan sekutunya, maupun warga sipil.

Pada masa itu, selain memanfaatkan gua buatan Belanda , Jepang juga menambahkan sejumlah gua dikawasan ini. Gua-gua buatan Jepang dipergunakan untuk keperluan penyimpanan amunisi, logistik dan komunikasi radio pada masa perang. Pada masa pendudukan Jepang, kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini ditutup untuk umum.

Gelap dan lembab mendominasi suasana di gua tersebut. Ukuran gua yang cukup besar ditambah dengan lorong-lorong ventilasi udara di beberapa sudut, mengakibatkan suasana di dalam gua tidaklah pengap. Namun, lorong-lorong panjang dan banyaknya persimpangan di dalam gua tersebut cukup membingungkan bagi mereka yang pertama kali memasuki gua tersebut. Sangat disarankan untuk berkelompok ketika masuk dalam gua tersebut.

Di gua Jepang terdapat empat lorong untuk masuk. Konon katanya, lorong ke dua dan ketiga sebagai lorong jebakan. Untuk kebutuhan penerangan di saat memasuki lorong pertama bisa menyewa senter. Lembab, gelap dan dingin adalah kesan awal yang langsung menerpa saat mulai melangkah ke dalam gua yang dibangun pada tahun 1942 silam. Selain itu jika kita terus kedalam banyak sekali sarang kelelawar yang ada diatas gua sedikit banyak bau kotoran kelelawar membuat engap.

Lorong yang panjang serta berliku memang cukup membingungkan. Sebaiknya perlahan-lahan jika berjalan melewati jalan yang bertanah namun ketika saya memegang dinding gua sepertinya keras. Dahulu gua ini dijadikan sebagai tempat pertahanan tentara Jepang.

Selain itu, di sini terdapat beberapa gundukan tanah yang lebih tinggi dari permukaan yang dijadikan sebagai tempat istirahat atau tempat tidur para tentara yang dikenal juga dengan nama Tentara Dai Nippon.


Setelah melewati persimpangan demi persimpangan, bisa keluar melalui mulut gua yang berukuran lebih besar. Di lorong ini dahulu difungsikan untuk tempat parkir dan keluar-masuk kendaraan perang.

Bagian atas gua Jepang ditumbuhi rimbunan pepohonan, beberapa pohon berumur ratusan tahun memiliki akar yang telah merayap turun ke bawah hingga menembus kerasnya batu cadas di luar dinding gua, bahkan tetesan mata air bisa menembus gua karena beberapa tempat saya melihat ada genangan air. Gua ini tidak mengalami renovasi fisik sama sekali setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu pada 1945.

Link Terkait



Memasuki gua Jepang, sama dengan memasuki periode kebrutalan ketika nyawa manusia sama sekali tidak berharga, orang mengatakan walaupun Jepang menjajah Indonesia sebentar namun lebih kejam dibandingkan Belanda. Kekhawatiran sudah menunggu di gelap gulitanya gua yang tidak dilengkapi dengan penerangan cahaya lampu. Namun jika saya melihat keatas gua sepertinya instalasi listrik sudah dipasang Namun, entahlah sampai sekarang gua masih gelap saja mungkin menambah kesan angker dari Gua Jepang ini.

Berbekal lampu senter sewaan, kami berkelompok 8 orang memasuki Gua paling depan dan belakang diberi satu lampu senter untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, setiap lorong gua menjadi saksi bisu tewasnya ratusan romusha dengan mengenaskan dalam proses membangun gua pertahanan ini selama tiga tahun dan juga terbunuhnya ratusan prajurit Jepang yang dibantai sekutu akhir 1945. Jika merujuk ke hal tersebut tentu Gua ini sangatlah angker atau mistis.


Kelembaban udara yang tinggi menjadikan gua ini berhawa dingin mencekam. Cahaya matahari yang tak mampu menembus ke dalam gua menjadikan lantai gua yang berupa tanah malah menyerupai butiran tanah mengeras. Sehingga, lantai gua memiliki tekstur bulat-bulat yang menonjol keluar


Gua yang tidak sempat selesai ini dimaksudkan menjadi benteng pertahanan militer Jepang. Tempat ini cocok dijadikan gudang amunisi dan juga sebagai pos pengintai untuk melihat gerak gerik musuh dan penduduk di bawah kaki Bukit Pakar. Jepang menyerah kepada sekutu sehingga pembangunannya berhenti.

Dibeberapa tempat terdapat aksi vandalisme oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, kedisiplinan seharusnya diterapkan, diperparah dengan mental yang memprihatinkan. Jangan tiru itu bukan hal yang terpuji, jaga kelestarian cagar budaya yang ada untuk masa depan.

Gua Belanda di Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda


Gua Belanda yang berada di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini berjarak sekitar 1,1 km dari Pintu Masuk, jadi kita akan melewati Gua Jepang terlebih dahulu jika masuk di kawasan Jl. Ir. H. Djuanda Dago.


Gua Belanda dibangun pada tahun 1906 sebagai terowongan penyadapan aliran air Sungai Cikapundung untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappij) hal ini nampaknya tak lepas dari perkembangannya Kota Bandung menjadi kotapraja (1960) dengan penduduk yang mencapai lebih dari 47.500 jiwa (Jakarta 200.000 jiwa, Surabaya 150.000 jiwa, semarang 90.000 jiwa). Namun karena sebab yang belum diketahui, PLTA ini tidak lama berfungsi. Pada tahun 1918 terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan penambahan beberapa ruang disebelah sayap kiri dan kanan dari terowongan utama yang sudah dibuat terlebih dahulu. Dalam terowongan untuk pembangkit listrik tenaga air sepanjang 144 meter dan lebar 1,8 meter dibangunlah jaringan gua sebanyak 15 lorong dan 2 pintu masuk setinggi 3,20 meter, luas pelataran yang dipakai gua seluas 0,6 hektar dan luas seluruh gua berikut lorong nya adalah 548 meter.


Sementara itu, sistem PLTA dibangun kembali dengan perubahan penyadapan yang tak lagi melalui gua belanda tetapi melalui saluran-saluran air bawah tanah hingga muncul kembali ke permukaan tanah di Pintu II Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dan ditampung dikolam tandon yang dikenal dengan "kolam pakar". Dari Kolam Pakar air disalurkan melalui pipa menuju PLTA Bengkok (difungsikan sekitar tahun 1932) yang sejak tahun 1921 dikelola oleh GEBEO (Gemeenschappelijk Electrisch Bedrift Bandoeng en Omstreken ) dan di masa kemerdekaan menjadi PLN. Ini pun nampaknya tak lepas dari adanya pembangunan berbagai instansi pemeritahan, kemiliteran, pendidikan, perdagangan, kesehatan dan komunikasi dan lainnya pada masa itu.

Link Terkait
Gua Jepang
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Menjelang Perang Dunia II, markas angkatan perang Hindia-Belanda dan pusat komando militer tentara sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan New Zealand) ditempatkan di Bandung yang merupakan benteng pertahanan terakhir bagi Belanda. Pada masa ini, Belanda memperluas Gua dan mendirikan stasiun radio komunikasi disini sebagai pengganti Radio Malabar di Gunung Puntang yang berada di wilayah tak terlindungi dari serangan udara. Meskipun akhirnya belum optimal, namun pada awal Perang Dunia Ke II dari stasion radio inilah Panglima Perang Hindia Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten melalui Laksamana Madya Helfrich dapat berhubungan dengan Panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel Doorman untuk mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang mengangkut pasukan mendarat di Pulau Jawa. Sayang sekali usaha ini gagal dan seluruh pasukan berhasil mendarat dengan selamat dibawah komando Letnan Jendral Hitosi Imamura.


Jalur Lori di Gua Belanda masih bisa kita lihat.

Saya merasakan jika Gua ini terasa hangat bila dibandingan dengan Gua Jepang, dinding-dindingnya pun sudah rapih begitu pun lantainya. Kesan mistisnya cukup terasa tapi mungkin ini sugesti saya, yang jelas saya pribadi jika akan ketempat yang baru dikunjungi sebisa mungkin saya "Permisi" dahulu. Pada masa kemerdekaan Goa ini pernah dipakai atau dimanfaatkan sebagai gudang mesiu oleh tentara Indonesia. Goa Belanda saat ini dapat dimasuki dengan aman dan dijadikan sebagai tempat wisata yang penuh dengan nilai sejarah.


Tuesday 6 February 2018

Refreshing di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda


Akhirnya kesampaian juga bisa berkunjung ke Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda bersama teman-teman kerja.

SEJARAH
Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Cikapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, status kawasan hutan negara dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Djawatan Kehutanan.

Kawasan hutan ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah yang pada waktu itu menjabat sebagai Administratur Bandung Utara merangkap Direktur Akademi Ilmu Kehutanan dan mendapat dukungan dari Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soejarwo (Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian). Pada tahun 1963 sebagian kawasan hutan lindung tersebut mulai dipersiapkan sebagai Hutan Wisata dan Kebun Raya. Tahun 1963 pada waktu meninggalnya Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (Ir. H. Djuanda) , maka Hutan Lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda untuk mengenang jasa-jasanya dan waktu itu pula jalan Dago dinamakan jalan Ir. H. Djuanda.

Untuk tujuan tersebut, kawasan tersebut mulai ditanami dengan tanaman koleksi pohon-pohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Botanical Garden Bogor (Kebun Raya Bogor) , dengan menanam koleksi tanaman dari di Bogor.

Pada tanggal 23 Agustus 1965 diresmikan oleh Gubernur Mashudi sebagai Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir. H. Djuanda yang kemudian menjadi embrio Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang dikelola oleh Dinas Kehutanan (dulu Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat).

Tahun 1978 pengelolaan dari Dinas Kehutanan (dulu Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat) diserahkan ke Perum Perhutani Jawa Barat.

Pada tahun 1980 Kebun Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari ini ditetapkan sebagai taman wisata, yaitu Taman Wisata Curug Dago seluas 590 ha yang ditetapkan oleh SK. Menteri Pertanian Nomor : 575/Kpts/Um/8/1980 tanggal 6 Agustus 1980.

Pada tahun 1985, Mashudi dan Ismail Saleh sebagai pribadi dan Soedjarwo selaku Menteri Kehutanan mengusulkan untuk mengubah status Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya.

Usulan tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang bertepatan dengan hari kelahiran Ir. H. Djuanda. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda sebagai Taman Hutan Raya pertama di Indonesia.

Link Terkait :



Untuk menjamin susksesnya pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor : 192/Kpts-II/1985 membentuk Badan Pembina Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) serta menunjuk Perum Perhutani sebagai Badan Pelaksana Pengelolaan dan Pembangunan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman yang terletak di Kota Bandung, Indonesia. Luasnya mencapai 590 hektare membentang dari kawasan Dago Pakar sampai Maribaya. Cukup melelahkan jika dijangkau dengan jalan kaki.

Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur dan sumber air pun sangat bagus, terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 spesies. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya.


Tidak hanya flora saja tetapi fauna yang ada di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda beragam sesekali saya melihat tupai, burung-burung dan kebanyakan kawanan monyet yang sering menampakan diri


Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Jawa Barat


Kunjungan

Taman Hutan Raya atau Tahura atau THR Ir. H. Djuanda. Dapat dikunjungi setiap hari
Waktu bukanya jam 08.00-18.00 kita bisq menikmati berbagai objek wisata alam yang cukup banyak dalam satu kawasan diantaranya:
1. Curug Dago dan Prasasti Batu dari Kerajaan Thailand.
2. Monumen Ir. H. Djuanda.
3. Panggung Terbuka.
4. Taman Bermain.
5. Outbond.
6. Gua Jepang.
7. Gua Belanda.
8. Curug Koleang dan Jembatan Gantung.
9. Penangkaran Rusa.
10. Curug Kidang.
11. Batu Batik.
12. Curug Lalay.
13. Curug Omas.
14. Tebing Keraton.

Sangat banyak bukan objek wisata dalam satu kawasan. Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 12.000,- per-orang. Untuk menjelajah seluruh hutan dibutuhkan sekitar yang cukup lama mengingat kawasan ini sangat luas. Dapat dicapai melalui Jalan Jl. Ir. H Djuanda atau Dago. Semua jenis kendaran bisa masuk hingga ke pintu gerbang utama. Akses dari arah Utara, melalui Objek Wisata Maribaya-Lembang. Dari pintu gerbang ini akan dapat dilihat objek wisata Curug Omas dan kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusur jalan setapak sepanjang 6 km menuju ke Pakar Dago. Melelahkan bukan?


Kawasan ini biasanya cukup ramai pada akhir pekan, terutama hari Minggu pagi saat banyak orang datang berekreasi sekadar menikmati suasana atau berolah-raga lintas alam dengan rute Tahura-Maribaya sepanjang 6 km. Jarak ini biasa dapat ditempuh berjalan kaki sekitar 2-3 jam (tergantung kondisi). Yang pasti berjalan kaki melintasi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini sangat menyenangkan karena selain keasrian lingkungannya, juga memberikan kesegaran karena udara yang relatif bersih.


Air yang mengalir di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini dimanfaatkan untuk PLTA Bengkok kami pun berkunjung ke Curug Koleang dan Jembatan Gantung. Sayang Curug Koleang debit airnya sedang kecil dikarenakan air sedang dialihkan ke PLTA Bengkok.


Berfoto di Jembatan Gantung Curug Koleang


Jika kalian berkunjung ke Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda disarankan agar berkunjung ketika pagi, cocok untuk berolah raga seperti Joging, untuk akses ke semua objek wisata dengan berjalan akan sangat melelahkan mungkin harus menyewa sepeda saya pun belum tau apakah ada penyewaan sepeda. Untuk review mengenai Gua Jepang dan Belanda saya pisahkan dengan artikel ini.

Selamat Berlibur

Sunday 4 February 2018

Makam Ibu Bangsa, Inggit Garnasih


Setelah berkunjung ke Ereveld Leuwigajah dan The Historich Cimahi, saya berkesempatan untuk mengunjungi Makam salah satu sosok vital dalam tonggak sejarah perlawanan Bangsa Indonesia yaitu Inggit Garnasih di Taman Pemakaman Umum Porib, Bandung. Inggit Garnasih adalah Istri ke 2 dari Ir. Soekarno saat dalam masa pengasingan. Jauh sebelum dipengasingan Inggit Ganarsih pula yang menjadi sosok di belakang layar saat menyelundupkan buku-buku sebagai kebutuhan informasi bagi Soekarno saat terkurung di Penjara Banceuy.

Baca link terkait:




Atas usahanya itu, Soekarno mampu menyelesaikan pledooi (pembelaan) yang berjudul 'Indonesia Menggugat' di Landraad Bandoeng. Pidato itu juga yang menjadikan Soekarno dijuluki 'Singa Podium'.

Ketika sedang sakit Inggit Garnasih beberapa kali dikunjungi oleh Ir. Soekarno. Sebaliknya, saat Ir. Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970, Inggit Garnasih segera berangkat ke Jakarta diantar anaknya Djuami. Padahal, kondisi tubuhnya saat itu sudah renta.

Dalam kurun tahun 1960-1970, beberapa istri Soekarno kerap mengunjungi Inggit Garnasih di Bandung. Begitu pula putra-putri Ir. Soekarno yang datang berkunjung baik saat sehat maupun sakit.

Dalam kondisi usia lanjut dan sakit-sakitan, Inggit menunjukkan jiwa besarnya dengan harapan dapat bertemu Fatmawati. Atas prakarsa Ali Sadikin, keinginan Inggit Garnasih bertemu Fatmawati terlaksana pada 7 Februari 1984.

Pertemuan itu berlangsung dalam suasana haru, saling berpelukan dan diwarnai tangisan. Fatmawati meminta maaf secara tulus. Tiga bulan setelah pertemuan yang mengharukan itu, pada 13 April 1984, Inggit Garnasih meninggal dunia dalam usia 96 tahun. Ia dimakamkan di Permakaman Umum Porib, Jalan Makam Caringin, Kota Bandung.

Inilah Makam Inggit Garnasih seorang Ibu Bangsa yang telah berjuang mendorong suaminya Ir. Soekarno pergerakan sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia.


Jika dilihat dari papan informasi ada yang sedikit mengherankan jika Inggit Garnasih adalah istri Pertama dari Ir. Soekarno, menurut Juru Kunci yang saya tanya memang Ir. Soekarno sebelumnya pernah menikah dengan Siti Oetari Tjokroaminoto anak dari H.O.S Tjokroaminoto namun Oetari masih berumur 16 tahun ketika menikah dengan Ir. Soekarno. Namun bagi saya tidak perlu dipermasalahkan.

Disebelah makam Inggit Garnasih terdapat sebuah lemari yang berisi foto masa lalu Ir. Soekarno dengan Inggit Garnasih. Foto ini yang saya suka senyum Inggit Garnasih sangat menyejukan dengan ekspresi ketegasan dari Ir. Soekarno


Selain Inggit Garnasih agak diluar ada 3 makam lainnya yaitu Ratna Djuami adalah anak angkat dari Ir. Soekarno dan Inggit Garnasih kemudian Suami dari Ratna Djuami yaitu Asmara Hadi dan Anaknya



Sejenak berbincang dengan Juru Kunci atau penjaga makam Abah Oneng Rohimat mengenai Ir. Soekarno, Inggit Garnasih dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Banyak pelajaran yang saya petik ketika perbincangan saat itu, banyak sekali orang yang mengagumi kedua tokoh ini Ir. Soekarno dan Inggit Garnasih jangan sampai hanya mengagumi sebatas seremonial saja namun pelajari ambil inti sari dari perjuangan Ir. Soekarno dalam pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia kedalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini negara sudah Merdeka tidak perlu kita memanggul senjata, tapi bagaimana kita bisa berbuat sekecil apapun untuk Indonesia membangun Indonesia. Sulit rasanya mencari sosok loyalis tanpa batas seperti Ir. Soekarno.


Berfoto dengan Abah Oneng Rohimat sehat terus jaga makam Inggit Garnasih.


Sebelum meninggalkan makam Inggit Garnasih, semoga Alloh menerima amal ibadah Ibu Bangsa kami.

Amiiin!!!